Sri Sultan Hamengku Buwono
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”1.
Politik “Kebun Binatang”
Memang, pada sejak zaman dahulu, para budayawan dan filosof kerap menggunakan kisah-kisah perumpamaan “dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Bahkan suatu ketika, Mahbub sendiri menulis kolom “Politik Kebun Binatang” untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, walaupun ada istilah homo hopini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan melakukan “pembenaran”.
Jika kita sempat mengunjungi Museum Purbakala Sangiran, dan sempat menyaksikan film dokumenter yang diputar untuk pengunjung, betapa kita kaya sekali akan fosil, yang terkenalnya adalah fosil manusia purba Pitecanthropus Errectus yang mirip “manusia kera”.
Digambarkan fosil-fosil itu adalah jawaban atas the missing link dari mata rantai evolusi sejarah asal-usul manusia, dari “wujud binatang” menuju bentuknya yang sempurna. Untuk menuju (peradaban) sempurna butuh proses evolusi jutaan tahun lamanya. Tetapi, mengapa “watak buas dan kejam” masih terus melekat? Di Surat At-Tin dalam Al Qur’an ada istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai zaman edan.
Uang adalah Panglima
Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.
Di sisi lain nasionalisme kita berubah menjadi “kebangsaan uang”. Tidak terlalu digubris bahwa nasionalisme kita hanya akan berkembang dengan subur di alam demokrasi ini, bila Pancasila dijadikan acuan dalam etika politik. Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat dasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan poltik demokratis yang berbasis etika dan moralitas.
Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa ini kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan kerena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.
Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja. Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada Pancasila hancur karena politik identik dengan uang. Uang menjadi penentu segala-galanya dalam ruang publik.
Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman hanya sekedar simbol lahiriah yang menjelma dalam ritus dan upacara. Iman tidak terkait dengan tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik. Politik tidak tersentuh oleh etika iman, seperti yang diajarkan oleh sila pertama dari Pancasila, KeTuhanan Yang Maha Esa.
Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.
Jadi jika kita tarik logika yang ada di kepala masing-masing kelompok, (nyaris) tidak ada yang namanya kepentingan bersama untuk bangsa. Yang ada hanyalah kebersaman fatamorgana. Seolah-olah kepentingan bersama, padahal itu hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi. Hampir tidak ada kesepakatan di mata para politisi kita tentang akan dibawa ke mana bangsa ini, karena semua merasa benar sendiri, dan tidak pernah mau menyadari di balik pendapat yang ia nyatakan, mengandung kekurangan yang bisa ditutup oleh pendapat kelompok lain. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati, dan tertimbun oleh arogansi untuk menguasai kelompok lain.
Memang benar alam raya ini penuh dengan perbedaan. Demikian pula politik, penuh dengan perbedaan pendapat. Tapi di Indonesia perbedaan pendapat justru menjadi penghalang untuk mencapai visi bersama bangsa. Betapa sedih melihat ketika demokrasi yang kita rasakan dibangun oleh para elite dengan cara manipulatif dan penuh rekayasa untuk menjatuhkan lawan.
Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.
Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi.
Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang2.
Budaya Demokratis
Tidak dapat dimungkiri, sebagai bangsa, Indonesia begitu majemuk. Aneka kelompok, baik yang mengikat diri secara kultural, ideologis maupun agamis, berkejaran dalam jagat ke-Indonesiaan. Sehubungan dengan itu, persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak akta pendirian bangsa ini adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irrasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni, dan sebagainya.
Bersamaan dengan menggelindingnya demokratisasi, ke-berbagai-an (kebhinekaan) dan ke-berbagi-an (resource sharing) yang sempat dibungkam secara ideologis semasa Orde Baru kembali bernapas. Ke-berbagai-an dan ke-berbagi-an yang sayang sejak berdirinya bangsa ini tidak pernah diberi kesempatan belajar bagaimana hidup bersama dan berbagi secara rasional.
Yang ada hanya kuliah-kuliah kering tanpa persatuan-kesatuan, toleransi, dan kebersamaan. Ide-ide yang gegap-gempita di ruang-ruang penataran, namun miskin secara praksis. Hasilnya, etika sosial pecah berantakan. Demokrasi diajukan ke meja hijau. Demokrasi dituduh meriuh-rendahkan kehidupan politik yang dulu senyap-sejuk. Disintegrasi! Itulah retorika magis yang membuka pintu bagi aparatur koersif untuk turun tangan. Pertikaian sosial hanya bisa diredam dengan tangan besi. Tidak ada jalan lain. Demokrasi hanya retorika indah di seminar-seminar, ruang kuliah, dan media massa. Masyarakat membutuhkan kedamaian bukan demokrasi. Demokrasi dituding sebagai tidak indah. Wajahnya centang-perentang dan sukar disusun rapi. Damai lebih indah. Meski harus menjatuhkan diri kembali ke pelukan rezim tangan besi.
Sebuah tatanan hidup bersama secara rasional membutuhkan lebih dari sekadar reformasi demokratis-prosedural. Reformasi yang semata meluruskan prosedur-prosedur politik yang melenceng dari garis demokrasi. Pemilu multipartai dilangsungkan secara fair lima tahun sekali. Presiden dipilih langsung. Masa jabatannya dibatasi dua kali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berfungsi proporsional dan maksimal, dan sebagainya. Demokrasi prosedural seperti itu belum tentu menghasilkan etika sosial.
Demokrasi semata menetapkan prosedur-prosedur guna menjamin apa yang disebut democratic liberites. Sebagian democratic liberities yang umumnya dijamin adalah kebebasan berekspresi, berserikat, dan menjalankan syariat agama. Namun, kebebasan berekspresi bisa dijadikan jalan untuk mengobarkan sentimen anti-etnis atau agama tertentu. Kebebasan berserikat bisa dijadikan alasan untuk menghukum para bidah. Dan, kebebasan beragama tidak mengatur koeksistensi antarumat beragama.
Bagaimana demokrasi bisa seiring dengan etika sosial. Satu-satunya jalan adalah terwujudnya apa yang disebut budaya demokratis (democratic culture). Demokrasi tanpa dibarengi budaya demokratis ibarat pelita tanpa minyak. Nyala rezim demokratis di berbagai belahan dunia meredup karena gagal mewujudkan budaya demokratis dalam masyarakatnya.
Demokrasi sendiri menuntut terpatrinya tiga dimensi kultural. Dimensi pertama adalah kedaulatan populis. Dimensi ini menuntut rakyat dan bukan pejabat publik yang berdaulat. Kewenangan pejabat-pejabat publik harus senantiasa dijadikan obyek strukturisasi publik. Kesetaraan politik adalah kata kuncinya. Musuh besar dimensi pertama demokrasi ini adalah segala bentuk previlese sosial.
Dimensi kedua adalah kesetaraan warga negara. Dimensi ini menuntut setiap warga negara dipandang sebagai subyek hukum yang setara dalam melibatkan diri secara politis. Melibatkan diri dalam hal ini bukan saja sebagai pengadil proses-proses politik, tetapi juga sebagai partisipan aktif. Untuk itu, peluang warga negara untuk mempengaruhi proses-proses politik harus dijamin setara. Demokrasi cacat bila satu atau beberapa kelompok masyarakat memiliki defisit peluang dalam mengartikulasi keyakinan-keyakinannya dalam proses politik. Distribusi ekonomi yang timpang bisa jadi salah satu pemicunya. Artikulasi gagasan didominasi donor-donor kaya.
Dimensi ketiga adalah diskursus demokrasi. Jika tiap-tiap warga negara dipandang sebagai rekanan dalam urusan politik, mereka lebih dulu memposisikan diri sebagai individu yang bebas. Deliberasi individu harus berkonsentrasi pada argumen untuk menolak atau menerima sebuah aksi kolektif sehingga warga negara yang agendanya ditolak, paling tidak puas bahwa mereka berpeluang meyakinkan yang lain, bukan sekedar kalah suara.
Sensor, kebohongan, dan manipulasi adalah musuh-musuh utama dimensi ketiga demokrasi ini. Tiga dimensi demokrasi-kontrol populis terhadap pejabat-pejabat publik, kesetaraan politik warga negara, diskursus politik yang fair dan setara, menuntut tegaknya budaya demokratis. Budaya yang mengandung dua komponen pokok. Pertama, kemandirian dan kedua, nalar publik. Budaya adalah struktur. Kebiasaan yang berulang dan menghasilkan pola yang dihayati bersama. Pola kultural yang belum sepenuhnya lepas dari masyarakat kita adalah pola-pola feodalisme. Stuktur kultural feodalisme amat berseberangan dengan kultur kemandirian. Feodalisme adalah ketergantungfan in optima forma. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan melemahkan inisiatif publik.
Rezim Orde Baru dengan jeli memanfaatkan kondisi kultural ini. Potensi apatisme politik dalam masyarakat dikeraskan lewat perangkat koersif maupun ideologis. Kultur feodalisme juga mengerem pertumbuhan civil society. Karena kekuasaan diagungkan, maka kekuatan non-pemerintah diremehkan. Politik ditafsirkan sebagai ajang cari makan dan status. Karier yang bagus berarti kantung tebal dan status sosial yang kian membumbung.
Logikanya pun menjadi politik praktis: perebutan dan aksentuasi kekuasaan. Padahal civil society berpijak pada logika politik yang berbeda. Logika politik civil society bukan bukan politik praktis, tetapi politik emansipatoris. Artinya, politik guna membela hak dan membebaskan warga negara dari ketergantungan politis lewat konsistensi dan advokasi. Sasarannya adalah naiknya posisi tawar masyarakat dan menciptakan budaya kemandirian yang proaktif.
Demokrasi yang beretika sosial menuntut enyahnya irasionalitas dari tatanan hidup bersama. Untuk itu, nalar publik mesti dijadikan sarana epistemik tiap perjumpaan ideologis. Prinsip nalar publik sederhana saja. Setiap klaim apakah itu moral, filosofis, agamis, maupun ideologis, harus didasarkan pada satu argumentasi yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan. Kata kuncinya adalah understandability dan communicability. Ini harus dihayati betul oleh tiap individu atau kelompok dalam sebuah rezim demokratis.
Membudayakan nalar publik bukan tugas ringan. Dalam masyarakat yang sebagian besar masih dikungkung kubah-kubah primordial, nalar yang dipakai masih bersifat privat. Nalar yang cenderung tertutup, sektarian, dan tidak bisa menerima perbedaan. Sasarannya bukan mencari irisan kepentingan, tetapi efektifitas dan kesuksesan. Kelompok atau individu lain dipandang sekadar sebagai sarana, bukan sebagai subyek diskursif yang setara.
Bagaimana membangun sebuah kultur demokratis? Tidak ada jalan lain kecuali menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual. Sistem yang berfokus pada penciptaan individu-individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. Otonom bukan berarti egosentris. Karena itu, pelajaran budi pekerti harus menekankan perjumpaan, pengenalan, dan pemahaman “yang lain” (the others). Strategi pedagogis ini tentu membidik target jangka panjang. Strategi yang amat menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini3.
Catatan Akhir
Power tends to corrupt dan Ethics has no place in politics adalah dua adagium klasik dalam textbook ilmu politik yang ingin menunjukkan betapa mudahnya kita terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika. Sebaliknya, adagium ini pulalah yang membuat kita untuk selalu tidak jenuh dan letih meneriakkan perlunya etika politik dalam mengemban tugas dan tanggung jawab bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori politik, etika politik bukanlah sekadar gagasan himbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis seperti sinyalemen adagium di atas. Minimum ada tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan publik4.
Prasyarat pertama adalah prinsip kehati-hatian (principle of prudence), sebuah prinsip yang “mempertanyakan” secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dari para pemegang kunci kekuasaan politik. Dalam prinsip ini, sebuah tindakan yang memiliki motif untuk “memihak” kepentingan lebih luas dibanding dengan kepentingan sempit partai atau diri sendiri akan memiliki nilai etika yang jauh lebih tinggi dan terpuji.
Prinsip kedua adalah prinsip tatakelola (principle of governance) yang berhubungan dengan masalah etika di dalam “proses” pengambilan keputusan ataupun penetuan tindakan. Prinsip ini menyangkut pengukuran terhadap standar-standar yang digunakan di dalam menentukan sebuah tindakan ataupun kebijakan. Kesadaran akan pentingnya akuntabilitas, transparansi dan soladiritas, secara otomatis, akan melahirkan perilaku dan keputusan yang jauh lebih etis.
Prinsip yang ketiga adalah prinsip pilihan rasional (principle of rational choice) yang secara metodologis menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan atau keputusan yang memiliki manfaat yang sangat tinggi dan signifikan bagi kepentingan umum jauh lebih etis dibanding tindakan yang hanya melayani kepentingan pribadi ataupun kepentingan manuver partai politik yang sesaat.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, baik biaya (costs) maupun manfaat (benefits) tidak selalu hadir dalam bentuk fisik-material. Namun juga kedua aspek tersebut dapat diurai dalam bentuk nilai-nilai simbolik seperti trust, stabilitas, soladiritas, ataupun loyalitas. Dari uraian tersebut, kita perlu mengingatkan pentingnya muatan etika politik sebagai acuan bersama bagi jagat perpolitikan kita.
Setidaknya ada tiga muatan etika politik yang saya usulkan. Pertama, watak baru yang berakar budaya, berwatak progresif dan memihak bangsa. Kedua, kebhinnekaan, kebersamaan, kerukunan, dan kebangsaan Indonesia perlu dirajut ulang serta Pancasila ditegakkan kembali. Ketiga, membela rasa keadilan rakyat, mengabdi Ibu Pertiwi demi kesejahteraan rakyat dan kemuliaan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar