Istana Negara
Istana Merdeka adalah yang paling diingat khalayak diantara enam Istana Kepresidenan meski jelaslah ia bukan yang paling tua, paling megah, atau paling indah. Istana Negara yang berada di belakang dan satu halaman dengannya, jauh lebih dulu dibangun. Istana Bogor jelas lebih luas dan megah. Sementara Istana Yogyakarta mempunyai peran paling besar dalam revolusi kemerdekaan.
Pastilah khalayak tahu bahwa Istana Merdeka adalah tempat kediaman resmi Presiden, khususnya Presiden pertama, dan tempat berlangsungnya upacara-upacara kenegaraan. Ia mendapat tempat khusus di hati rakyat karena bernama Merdeka – perlambang kemenangan perjuangan bangsa. Nama itu menandai berakhirnya penjajahan di Indonesia dan mulainya pemerintahan oleh bangsa sendiri.
Pemberian nama itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Acaranya berlangsung di dua tempat: di Istana Gambir, Jakarta, Indonesia, dan Istana Dam, Amsterdam, Belanda. Di Istana Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia.
Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan Jakarta, upacara di Istana Gambir itu dimulai menjelang senja. Matahari sudah hampr terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru untuk terakhir kalinya merayap turun dari puncak tiangnya. Masyarakat yang berkumpul di luar halaman Istana Gamir bersorak-sorak menyaksikan turunnya bendera tiga warna itu. Sorak-sorai kian gemuruh setelah kemudian lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengantar bendera Merah-Putih ke puncak tiang. ”Merdeka ! Merdeka! Hidup Indonesia!”.
Sementara di Troonzaal (Bangsal Singgasana) Istana Dam, Amsterdam, Ratu Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan itu dan menyerahkan kepada Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang memimpin Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan itu. Untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan di Istana Dam.
Kobaran pekik ”Merdeka” pada senja bersejarah itulah yang kemudian menggerakkan Bung Karno untuk mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.
Bangunan Istana Negara didirikan pada tahun 1796. semula ia adalah rumah Jacob Andries van Braam, mantan Residen Belanda pertama untuk Surakarta yang menjadi kaya-raya karena jabatan-jabatannya dibawah Gubernur Jenderal Daendels. Sedangkan bangunan Istana Merdeka, yang memang dimaksudkan sebagai Istana, dibangun pada tahun 1873 dan selesai enam tahun berikutnya.
Kedua bangunan itu berada di kawasan yang dimasa lalu bernama Weltervreden (dalam bahasa Belanda berarti ”sangat memuaskan”) merupakan kantung permukiman orang-orang Belanda dan terhitung paling elit. Weltervreden kala itu dikenal sebagai kota yang tertata cantik dengan pohon-pohon yang dipangkas rapi seperti di taman-taman Eropa. Pejabat-pejabat dan saudarag-saudagar kaya Belanda segera membangun rumah-rumah besar di Weltervreden.
Terdapat dua taman di Weltervreden, yaitu : Koningsplein (sekarang taman Monas) dan Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Di sisi Koningsplein yang lain, membelakangi taman pada kedua sisi anak sungai Ciliwung, terbentang dua jalan pada saat itu disebut Noordwijk (sekarang Jalan Juanda) dan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran). Di Rijkswijk itulah pada tahun 1796 Van Braam membangun sebuah rumah besar yang berhalaman sangat luas dan menghadap ke anak sungai Ciliwung.
Bangunan bekas rumah Van Braam aslinya merupakan bangunan bertingkat dua. Pada tahun 1848, tingkat atasnya diruntuhkan dan bagian depannya dibut lebih lebar untuk menampilkan wajah yang lebih resmi sesuai dengan martabat pembesar yang menghuninya. Di kiri-kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Disamping untuk penginapan Gubernur Jenderal, gedung bekas rumah Van Braam juga menampung funsgi sekretariat umum pemerintahan. Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian memperoleh nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.
Pada tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah ”hotel” baru dibelakang ”Hotel Gubernur Jenderal” di Rijswijk. Seorang arsitek bernama Drossares dipercayakan untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama Istana Merdeka. Gagasan itu baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama yang menghadap Rijswijk akhirnya diperluas.
Istana Negara dan Istana Merdeka dibangun mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebaga sarana aliran udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya teknologi penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya.
Gaya arsitektur Pallado tampak jelas dari eksterior kedua gedung ini yang menampilkan saka-saka bercorak Yunani. Ada enam saka bundar laras Doria di bagian depan Istana Merdeka, sedangkan bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka dengan laras yang sama. Kesan arsitektur Palladio juga terlihat pada bingkai-bingkai jendela dan pintu yang besar disamping lengkung-lengkung gapura di kedua sisi Istana Merdeka. Kedua Istana Jakarta ini mempunyai ciri yang hampir mirip, yaitu serambi depan yang luas dan terbuka. Di Istana Merdeka, serambi itu dicapai dengan mendaki 16 anak tangga batu pualam, langsung dari arah depan. Di Istana Negara, serambinya yang sedikit lebih sempit dicapai dari dua anak tangga di sisi kanan dan kiri, dan bagian depannya ditutup dengan pagar balustrada.
Sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, Insinyur Sukarno dan keluarga semula tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dan terpaksa mengungsi ke Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan karena agresi Belanda. Sukarno dan keluarga baru masuk Istana Gambir pada 28 Desember 1949, sehari setelah penyerahan kedaulatan. Sebelumnya Istana Gambir dihuni oleh Dr. Hubertus J. Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal, hingga 1948, dan kemudian oleh Dr. L.M.J. Beel, Wakil Tinggi Mahkota.
Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukan kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Semua peristiwa ini dilaporkan secara pandangan mata melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Dengan gaya yang khas, Bung Karno kemudian berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdekan dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.
Presiden Sukarno memakai sebuah ruang di sisi timur Istana Merdeka sebagai kamar tidurnya. Ruang tidur itu berseberangan dengan ruang kerjanya dan dipisahkan oleh bangsal luas yang dikenal sebagai Ruang Resepsi. Ruang tidur Bung Karno tidak mempunyai kamar mandi sendiri. Bung Karno dan Ibu Fatma menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang kamar tidur, bersebelahan dengan kamar tidur Guntur, anak sulung mereka. Semuanya berada di sisi timur Istana Merdeka.
Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan yang lebih resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula merupakan teras terbuka dengan perabotan dari rotan. Ruangan ini pada masa Presiden Soeharto ditutup tembok. Sebagian menjadi ruang tunggu untuk para duta besar sebelum menyerahkan surat keprecayaan kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi ruang tamu Presiden yang kemuadian dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan ini pada masa Presiden Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior dari ukuran Jepara.
Ruang kerja Presiden Sukarno diisi dengan meja dari kayu jati masif, setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang dipenuhi lemari buku tingginya sepertiga dinding. Ruang kerja ini nyaris tidak berubah setelah ditinggalkan Bung Karno dan selama 32 tahun dipergunakan oleh Presiden Soeharto. Baru pada masa Presiden B.J. Habibie ruang tersebut mengalami sediikt perubahan.
Ketika putra-putri Bung Karno masih kecil, mereka tidak dikirim ke sekolah umum. Sebuah gazebo di pelataran tengah diubah menjadi kelas taman kanak-kanak bagi mereka. Gazebo itu di masa Hindia-Belanda dipakai sebagai muziek-koepel – tempat para pemusik bermain pada acara-acara pesta kebun. Guru untuk taman kanak-kanak itu didatangkan ke sana. Anak-anak staf Istana yang seusia juga diajak ”bersekolah” di situ untuk menemani putra-putri Bung Karno. Kebanyakan mereka tinggal di bangunan samping untuk karyawan Istana, di lahan yang sekarang menjadi kompleks Sekretariat Militer.
Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang disebut ”sanggar”. Bangunan itu terbuat dari kayu, bertingkat dua, dan sering dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau menulis naskah pidato. Kelak di atas lokasi ini Pak Harto membangun Puri Bhakti Renatama yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda seni.
Pada masa Bung Karno, bagian-bagian luar Istana Merdeka masih terbuka sehingga merupakan serambi-serambi dan beranda-beranda yang luas. Sekeliling Istana, sekalipun berpagar, tetap memberi kesan terbuka. Beberapa bagian beranda yang terbuka itu dilengkapi dengan setelah kursi-kursi rotan. Di situ kadang-kadang Presiden Sukarno menemui tamu-tamunya, termasuk juga melayani wawancara para wartawan.
Untuk menegaskan Istana Jakarta sebagai tempat tinggal keluarga Presiden dan tempat kerja Presiden dan stafnya maka dirasa perlu menyediakan tempat ibadah di lingkungan itu. Akhirnya dibangunlah Masjid Baiturrahim disamping barat Istana Merdeka dengan arsitek R.M. Soedarsono pada tahun 1958 dan selesai pada tahun 1961. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, masjid itu diperluas pada sisi selatan dengan bangunan simetris dengan sisi utara, sedangkan bagian dalam kubah masjid dihiasi dengan kaligrafi dari ayat-ayat suci Alqur’an.
Setelah membangun Masjid Baiturrahim, Presiden Soekarno juga memerintahkan Soedarsono merancang bangunan tempat tinggal para tamu negara di dalam lingkungan Istana Jakarta. Bangunan bertingkat enam itu disebut Wisma Negara, terletak di sisi barat pelataran dalam Istana Jakarta dan dibangun sepanjang tahun 1962-1964.
Lantai teratas Wisma negara adalah ruang makan dan ruang tamu bagi para tamu agung negara. Lantai lima atalah suite untuk tamu agung setingkat kepala negara, sedangkan lantai empat merupakan suite bagi tamu agung sederajat perdana menteri atau wakil presiden. Wisma Negara juga dilengkapi dengan kantor pos, salon pangkas dan kecantikan, tempat penukaran uang, serta toko cenderamata.
Halaman luas yang menjadi pelataran bagi Istana Merdeka, Istana Negara, dan Wisma Negara juga menjadi surga bagi berbagai macam burung. Sesuai dengan musimnya, ratusan burung betet, perkutut, jalak menyinggahi halaman Istana Jakarta. Bung Karno dulu selalu meminta para staf untuk menyediakan makanan bagi peliharaan burung-burung. Sebagai pecinta kemerdekaan, ia juga dikenal pembenci sangkar burung. Pada masa pemerntahan Presiden Megawati, Taufiq Kiemas, suami Presiden, menanam pohon salam di halaman ini untuk mengundang burung-burung bebas.
Beberapa arca kuno juga menghiasi berbagai sudut pekarangan Istana Jakarta. Salah satu diantaranya adalah arca Dhyani Boddhisattva, yang berasal dari Jawa Tengah pada abad ke-9 merupakan arca langka yang sudah ada disana sejak masa Hindia-Belanda.
Bila Presiden Sukarno sedang berada di Istana Jakarta, sebuah bendera kepresidenan berwarna kuning dengan bintang emas ditengahnya dikibarkan di atas Istana Merdeka. Sejak Presiden Soeharto, penandaan seperti itu tidak dilakukan lagi.
Denyut kehidupan Istana Jakarta berubah sejak Jenderal TNI Soeharto menggantikan Ir. Sukarno. Sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua, Presiden Soeharto memutuskan untuk tinggal di kediaman pribadinya di Jalan Cendana 8, Jakarta. Sejak itu praktis Istana Merdeka dan Istana Negara hanya dipakai sebagai tempat kerja, upacara, dan resepsi kenegaraan.
Pak Harto berkantor di Bina Graha yang terletak di sebelah timur Istana Negara, menghadap ke arah Sungai Ciliwung, kemudian menjadi kantor resmi Pak Harto. Gedung ini berdiri di atas lahan bekas Hotel Dharma Nirmala, bangunan yang pada masa sebelumnya bernama Hotel der Nederlanden dan Raffles House.
Presiden Soeharto mempunyai dua ruang kerja di Bina Graha, yaitu di lantai dasar dan lantai atas. Kedua ruang kerja ini dihubungkan dengan tangga. Ruang kerja di lantai atas biasanya dipakai sebelum menghadiri sidang-sidang kabinet terbatas. Ruang kerja di lantai bawah dipakai untuk menerima tamu-tamu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Untuk menerima tamu negara dan pejabat lembaga tinggi negara, Presiden Soeharto menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka.
Pada dasawarsa terakhir masa pemerintahannya, Pak Harto bahkan makin sering menggunakan kediamannya di Jalan Cendana untuk menerima para tamu. Pada periode itu Pak Harto juga mulai sering menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka pada hari Jum’at agar dekat dengan Masjid Baiturrahim. Beliau juga menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka itu untuk pertemuan-pertemuan yang bersifat khusus.
Tidak adanya kebutuhan untuk kehidupan rumah tangga di Istana Merdeka juga mengubah berbagai fungsi ruangan. Atas persetujuan Presiden Soeharto, bekas kamar tidur Bung Karno pada renovasi tahun 1997 diubah menjadi tempat untuk menyimpan Bendera Pusaka dan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan. Patung dada Bung Karno dan Bung Hatta juga ditempatkan di ruang itu. Pada dinding utara ruang pusaka itu dipasang relief yang menggambarkan Sajuti Melik mengetik teks proklamasi, serdangkan pada dinging selatan menggambarkan Ibu Fatmawati menjahit Bendera Pusaka. Diantara semua Presiden Republik Indonesia, Presiden Habibie yang paling sering membawa tamunya mengunjungi Ruang Bendera Pusaka ini.
Bekas ruang tidur Ibu Fatmawati di sisi barat, disamping belakang ruang kerja Presiden, diubah menjadi dua ruang tidur untuk istirahat kepala negara, dilengkapi dengan kamar mandi yang telah direnovasi. Pak Harto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam setiap tanggal 16 Agustus setelah mengikuti upacara ranungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, menjelang upacara peringata hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ruang Kredensial yaitu bangsal pertama yang dicapai setelah memasuki pintu utama Istana Merdeka dari arah serambi depan, tidak berubah fungsinya. Di situlah para duta besar negara sahabat menyampaikan surat keprecayaan (kredensial) kepada Kepala Negara Republik Indonesia. Di ruang ini pula Kepala Negara setiap tahun menerima para duta besar yang menyampaikan ucapan selamat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dibelakang Ruang Kredensial terdapat sebuat koridor yang memisahkan Ruang Jepara di sisi barat sedangkan di sisi timur adalah salon yang dipakai sebagai ruang kerja, ruang tamu, dan ruang makan Ibu Negara. Pada masa Presiden Megawari, ruang ini dirombak menjadi Ruang Raden Saleh, khusus untuk menyimpan lima lukisan Raden Saleh.
Melalui koridor yang memisahkan Ruang Jepara dan Ruang Raden Saleh, para tamu bisa melangkah ke bangsal berikutnya, yaitu Ruang Resepsi yang merupakan ruang terluas di Istana Merdeka. Beberapa resepsi kenegaraan khususnya pada 17 Agustus malam diselenggarakan di ruang ini.
Ruang Respsi ini berlanjut ke serambi belakang yang sudah diperluas sejak renovasi tahun 1997. serambi ini semula merupakan teras terbuka, kemudian ditutup pada masa Presiden Soeharto dengan dinding pintu dan jendela kaca yang disesuaikan dengan gaya arsitektur bangunan. Serambi belakang tertutup ini juga bersambung ke sebuah teras terbuka yang menghadap ke pelataran Istana Jakarta. Di bagian atas dinding dalam serambi tersebut dihi8asi dengan relief aksara Arab yang mengandung arti ”damailah mereka yang berkunjung ke tempat ini” pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Di halaman depan Istana Merdeka berdekatan dengan kolam air mancur, berdiri sebuah tiang bendera dari beton setinggi 17 meter. Sebelumnya, pada masa Hindia-Belanda, bendera dikibarkan di puncak Istana Merdeka. Setiap tahun dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan, pada tiang bendera ini dikibarkan duplikat Bendera Pusaka.
Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan di Istana Merdeka mempunyai ciri khas masing-masing, baik pada masa Bung Karno maupun Pak Harto. Pada masa Bung Karno, masyarakat datang berduyun-duyun pada puncak peringatan untuk mendengar pidato Bung Karno serta melihat parade di Jalan Medan Merdeka Utara dengan panggung kehormatan di depan Istana Merdeka. Pada masa Pak Harto, parade militer diubah menjadi Pawai Pembangunan yang diselenggarkan pada setiap tanggal 18 Agustus. Presiden kedua ini juga melembagakan acara makan malam Peringatan Hari Kemerdekaan dengan mengundang para perintis kemerdekaan, veteran dan warakawuri di Istana Merdeka.
Pada masa Pak Harto, upacara dipusatkan pada detik-detik Proklamasi dengan pembacaan Naskah Proklamasi. Upacara pengibaran dan penurunan bendera pada senja hari dikembangkan menjadi seremoni yang anggun. Pada masa inilah mulai diperkenalkan konsep Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang terdiri dari siswa-siswi SMU terpilih yang mewakili provinsi Indonesia.
Pada bulan-bulan lainnya, sejak tahun 1984, setiap senja tanggal 17 diselenggarakan acara tetap di halaman depan Istana Merdeka, yaitu upacara penurunan bendera dan penggantian regu Kawal Jaga Istana. Upacara yang disebut Parade Senja itu disemarakkan dengan atraksi marching band dari berbagai sekolah atau organisasi massa, serta kolone senjata yang diiringi Korps Musik Pasukan Pengamanan Presiden.
Secara bertahap Istana Jakarta pun mengalami perubahan wajah. Kegemaran Ibu Negara Tien Soeharto terhadap ukir-ukiran kayu Jepara dengan segera mengubah penampilan Istana. Di luar bergaya Palladio, didalam bergaya Jepara. Menurut Joop Ave, yang menjabat sebagai Kepala Istana-Istana Presiden pada saat diawalinya renovasi interior, upaya itu juga untuk mengindonesiakan sekaligus memasyarakatkan Istana. Ketika Sampoerno menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, pengindonesiaan ragam hias tersebut dilanjutkan.
Ruang tamu Presiden di sisi Istana Merdeka misalnya, kemudian diberi nama Ruang Jepara, karena menggunakan ragam hias ukiran Jepara. Pada dinding-dindingnya digantung beberapa relief ukiran kayu berukuran besar. Salah satunya menggambarkan epik Ramayana. Beberapa saka di ruang itu juga dibungkus dengan kayu berukir. Dua pasang saka masif berlaras Ionia, masing-masing di Ruang Kredensial dan di Ruang Jepara, juga dibungkus dengan ukiran Jepara.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lantai marmer di berbagai ruang utama Istana Merdeka ditutup permadani berwarna merah marun, sedangkan di Istana Negara dengan permadani warna hijau hutan. Permadani itu memakai hiasan dengan ragam hias lung-lungan di sepanjang tepi serta bagian tengahnya. Di Ruang Kredensial, hiasan tengah permadaninnya memakai motif Cakra Manggilingan.
Pilihan warna merah untuk Istana Merdeka dan hijau untuk Istana Negara juga diterapkan pada gorden atau tirai jendela dan pintu di kedua bangunan itu. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, gorden di Istana Merdeka diubah warnanya menjadi biru.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, jabatan Kepala Rumah Tangga Istana diubah menjadi Sekretariat Presiden RI yang pada masa presiden Megawati dijabat oleh Kemal Munawar. Presiden Megawati mengangkat staf khusus Kris Danubrata yang ditugasi melakukan penataan ulang interior Istana-Istana Presiden Republik Indonesia. Hal pertama yang dilakukannya adalah melepaskan semua ukiran-ukiran Jepara dari interior Istana Merdeka dan Istana Negara — kecuali Ruang Jepara yang sengaja dilestarikan sebagai bagian sejarah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan nuansa asli klasik Eropa pada Istana Jakarta.
Secara bertahap dilakukan pula penggantian gorden dan karpet di Istana Jakarta. Gorden yang semula tebal dan berwarna masif digantikan dengan vitrase semi-transparan yang memberi kesan ringan dan terbuka. Karpet yang semula wall-to-wall diganti dengan lembaran-lembaran luas kapet Persia, Pakistan, dan Afganistan, yang menimbulkan kesan ramah dan akrab.
Kursi dan sofa dari kayu ukiran Jepara dengan bantalan berwarna kuning emas yang semula memenuhi Istana Jakarta juga diganti dengan kursi dan sofa peninggalan kolonial Hindia-Belanda dulu. Sebagian besar mebel itu dikeluarkan kembali dari gudang untuk direnovasi dan diganti bantalan baru dengan warna dan corak yang menimbulkan kesan elegan dan hangat.
Di masa Presiden Megawati dilakukan penataan dan penempatan kembali lukisan serta benda-benda seni lainnya dengan penataan interior yang baru. Beberapa lukisan dikembalikan ke tempatnya semula seperti ketika pada awalnya ditempatkan secara khusus oleh Bung Karno atas pertimbangan estetis dan teknis yang khusus.
Presiden Megawati juga memilih untuk tidak tinggal di Istana Merdeka. Sekalipun demikian Ibu Mega menggunakan Istana Negara sebagai kantornya. Oleh karenanya, Istana Negara perlu mengalami sedikit perubahan penataan interior.
Istana negara pada dasarnya terdiri dari dua balairung besar: Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Sesuai dengan namanya, Ruang Upacara adalah untuk tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan. Di masa Hindia-Belanda, Ruang Upacara dipakai sebagai ballroom untuk pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa.
Di Ruang Upacara tersedia dua perangkat gamelan: Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan barat dari podium yang berada di sisi selatan Ruang Upacara. Jika upacara mengharuskan diperdengarkan lagu kebangsaan dengan korps musik dari pasukan pengamanan presiden maka ditempatkan di serambi belakang yang hanya dipisahkan oleh dinding belakang podium Ruang Upacara. Auditorium ini dapat menampung seribu hadirin berdiri atau 350 hadirin duduk.
Sedangkan Ruang Jamuan dipakai untuk jamuan kenegaraan atau sebagai tempat para tamu beramah-tamah setelah upacara selesai. Ruangan ini dapat menampung 150 orang. Sebuah luisan Basoeki Abdullah bertema Ratu Kidul merupakan elemen hias utama di ruang ini.
Serambi depan yang terbuka, menghadap ke Jalan Veteran dapat dicapai dengan anak-anak tangga di kedua sisinya. Melalui pintu-pintu kaca, pengunjung akan tiba di ruang depan. Ruang depan ini dipergunakan sebagai tempat untuk tukar-menukar cinderamata antara dua kepala negara sebelum memasuki Ruang Jamuan. Di ruang ii terdapat tiga kandelabra besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hampir mencapai tiga meter.
Dari depan ini terdapat sebuah koridor untuk mencapai Ruang Jamuan. Sejumlah lukisan bertema revolusi kemerdekaan karya S. Sudjojono, Dullah, dan Rustamadji dipajang di kedua dinding di sepanjang koridor itu.
Di kedua sisi koridor itu terdapat beberapa ruang khusus. Di sisi barat terdapat suite untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu Presiden ini dulunya merupakan Ruang Pusaka untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Di ruang ini Presiden menemui tamu-tamunya.
Ruang kerja Presiden berada di sisi timur koridor ini, diapit dengan ruang tunggu tamu dan ruang ajudan. Ruang kerja ini hanya dilengkapi dengan sebuah meja kerja besar, sebuah kursi kerja untuk Presiden, dua kursi hadap, dan sebuah lemari panjang untuk menyiman berbagai benda seni dari keramik dan perak. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat dan ruang makan bagi Presiden.
Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir dalam sebuah upacara mendadak di Ruang Kredensial Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei 1998. dalam acara singkat yang disiarkan langsung melalui televisi, Wakil Presdien Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung untuk memulai tugasnya sebagai Presdien Republik Indonesia yang ketiga.
Presiden Habibie tinggal di kediaman pribadi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berkantor di Istana Merdeka. Ia menggunakan kantor di Bina Graha hanya pada saat-saat tertentu, misalnya bila memimpin Sidang Kabinet Terbatas. Untuk itu, dilakukan berbagai penyesuaian untuk membuat ruang kerja di Istana Merdeka itu memenuhi syarat guna menunjang kerja seorang Presiden yang akrab dengan teknologi baru.
Sebuah setelah sofa dari kulit bergaya Chesterfield ditempatkan di ruang kerja. Di atas meja kerja ditempatkan dua komputer. Pada batang lampu-duduk di atas meja kerja. Presiden Habibie menggantungkan sebuah boneka beruang kecil yang didapatnya dari seorang teman sebagai kenang-kenangan.
Irama kerja Presiden Habibie berbeda dengan irama kerja kedua pendahulunya. Sebagai orang yang bekerja tanpa henti hingga larut malam, Pak Habibie baru memulai acaranya di Istana Merdeka pada pukul sepuluh pagi. Kadang-kadang ia tidak keluar dari Istana hingga menjelang tengah malam. Pada hari Sabtu, ia mengkhususkan waktunya di Istana Merdeka untuk menerima wartawan yang hendak mewawancarainya.
Untuk menerima tamu-tamu diantara dua kegiatan di Istana Negara dan Istana Merdeka, Presiden Habbie kadang-kadang menggunakan salah satu ruang di Puri Bhakti Renatama. Ini juga demi alasan praktis karena gedung itu terletak dalam perjalanan antara kedua Istana. Untuk jumpa pers, ia sering mengundang para wartawan ke Wisma Negara. Presiden Habibie juga sering memanfaatkan ruang makan yang berbeda untuk acara santap siangnya. Ia sering membawa sendiri makan siangnya dari rumah.
Presiden Habibie hanya sempat memerintah selama 13 bulan, dan menyerahkan kepemimpinan bangsa Indonesia kepada Presiden Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur yang semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka.
Gaya hidup Gus Dur yang sangat terbuka memberi warna baru degup kehidupan Istana Jakarta. Seringkali Istana ”hidup” selama 24 jam karena berbagai jamuan dan pertemuan keluarga yang menghadirkan tamu berjumlah besar.
Gus Dur juga bekerja di ruang kerja Bung Karno. Sebaliknya, Presiden Megawati justru tidak menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka sebagai kantornya, melainkan salah satu ruangan di Istana Negara.
Pada masa Presiden Megawati dipersiapkan rencana memindahkan Kantor Presiden ke Puri Bhakti Renatama yang terletak di pelataran dalam antara Istaa Merdeka dan Istana Negara. Bangunan tambahan itu dibangun semasa Presiden Soeharto sebagai museum untuk menyiman lukisan dan benda-benda seni serta benda-benda hadiah.
Tetapi karena koleksi lukisan, benda seni, dan benda hadiah terus bertambah, museum itu tidak mampu lagi menampung semuanya. Gedung Bina Graha yang semula menjadi Kantor Presiden diubah fungsinya menjadi museum untuk menyimpan semua koleksi benda seni yang tidak dipajang di Istana. Sedangkan bekas bangunan museum itu direnovasi menjadi kantor Presiden yang baru, lengkap dengan ruang untuk konferensi pers dan ruang Rapat Kabinet.
Baik pada masa penjajahan maupun masa kemerdekaan, Istana Negara dan Istana Merdeka sarat dengan berbagai puncak peristiwa sejarah. Di Istana Rijswijk pada tahun 1829 Gubernur Jenderal G.A.G. baron Van Der Capellen mendengarkan rancana Jenderal Hendrik Merkus baron De Kock untuk menumpas pemberontakan Diponegoro. Sebagai Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda De Kock berhasil memerpdaya Diponegoro pada awal 1830 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Graaf Van Den Bosch.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati pada hari Selasa, 25 Maret 1947. Persetujuan ini antara lain menetapkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda akan bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan prinsip federasi. Setahun kemudian, pada tanggal 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa puncak peristiwa sejarah yang terjadi di Istana Merdeka dan Istana Negara antara lain adalah: pembubaran Republik Indonesia Serikat dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950. Dekrit Presiden Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 di depan Istana Merdeka pada 5 Juli 1959, pidato Dekrit Ekonomi di Istana Negara pada tanggal 28 Maret 1963 sebagai akibat ditolaknya permintaan utang kepada IMF (Dana Moneter Internasional). Di masa Presiden Sukarno halaman Istana Merdeka juga beberapa kali dipakai untuk pawai raksasa.
Isu tentang ”pengepungan” Istana Jakarta oleh sekelompok tentara pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto tampaknya mengulangi insiden serupa yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden Sukarno. Ketika itu, Presiden Sukarno segera meninggalkan Istana Jakarta dengan helikopter menuju Istana Bogor.
Ruang Kredensial Istana Merdeka menjadi perhatian dunia ketika pada tanggal 21 Mei 1998 dilangsungkan upacara singkat pengambilan sumpah Presiden Habibie yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru dunia. Sekelompok mahasiswa sempat mendekati halaman depan Istana Merdeka untuk melakukan unjuk rasa.
Hampir semua kepala negara dan kepala pemerintahan dari seluruh dunia telah mendaki anak-anak tangga Istana Merdeka di Jakarta. Nama-nama mereka tercatat dalam daftar panjang para tamu negara di Istana Jakarta. Beberapa nama besar dalam sejarah dunia yang pernah berkunjung ke Istana Jakarta antara lain adalah: Shri Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Indira Gandhi, Ratu Elizabeth, Raja Norodom Sihanouk, Jaksa Agung Robert Kennedy, Presiden Nelson Mandela, Kanselir Helmut Kohl, Presiden Bill Clinton, dan Putri Diana.
Sampai kini, tercatat 23 kepala pemerintahan yang pernah memakai kompleks Istana Jakarta ini, yaitu: 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, tiga Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara ke-16 Jepang di Jawa), dan lima orang Presiden Indonesia. Dari 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, hanya empat orang yang benar0benar tinggal di Istana Waltevreden; yang lain menetap di Istana Buitenzorg dan hanya datang ke Batavia untuk menghadiri pertemuan Raad van Indie. Hanya dua orang Presiden Republik Indonesia yang pernah tinggal di kompleks Istana Jakarta yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.
Istana Bogor
Ketika Istana Buitenzorg pertama kali didirikan pada pertengahan abad ke 18, wilayah yang kelak bemama Bogor masih berupa sebuah kampung. Bantaran sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang sejuk dan tenang itu semula hanya dihuni oleh beberapa warga yang menggarap lahan subur di sekitamya. Pada masa itu, daerah yang dikelilingi oleh Gunung-gunung Salak, Pangrango, Pancar dan Kapur ini telah menjadi bagian (ommelanden) dari “district Jacarta” tidak lagi tersisa dari kejayaan masa lalulnya sebagai pusat Kerajaan Sunda.
Ketika Gubemur Jenderal Hindia-Belanda Gustaaf Willem baron Van Imhoff menemukan tempai itu dalam suatu perjalanan inspeksi ke daerah Cianjur, ia mencatatnya sebagai Kampung Baru yang terletak 39 paal dari Batavia, 290 meter di atas permukaan laut.
Sang Gubernur Jenderal langsung jatuh cinta pada tempat yang sejuk dan jauh dari ingar-bingar itu. Batavia, yang telah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, adalah kota yang terlalu panas bagi orang Belanda yang biasa tinggal di negeri dingin. Ia kemudian berhasrat membangun sebuah rumah peristirahatan di tempat yang sejuk dan subur itu. Ia pula yang memutuskan untuk meniru gaya bangunan Istana Blienheim, puri kediaman Duke of Malborough yang terletak di dekat Oxford, Inggirs. Ia membuat sketsa bangunannya sendiri, dan pada thaun 1745 mulai memimpin pembangunan puri di Kampung baru itu. Ketenangan tempat itu membuat Van Imhoff memberi nama baru bagi daerah itu: Buitenzorg, sebuah kata Belanda yang berarti tanpa peduli – without worry atau carefree dalam bahasa Inggris, sans souci dalam bahasa Perancis. Buitenzorg adalah nama yang tepat bagi tempat tetirah untuk melupakan pelik-pelik di Batavia.
Namun sejumlah sejarawan meragukan bahwa Van Imhoff mengambil inspirasi dari Istana Blenheim. Sebab ia adalah seorang bangsawan Jerman dari daerah Heidelberg. Disamping itu, penamaan Buitenzorg yang searti dengan sans souci menimbulkan kemungkin bahwa desain pertama Puri Buitenzorg itu sebetulnya malah meniru atau diilhami oleh Istana Raja Frederik di dekat Berlin bemama Sans Souci.
Ketika Van Imhoff meninggal pada tahun 1750, pembangunan Puri Buitenzorg masih jauh dari usai. Bersamaan dengan waktu itu mulai pula berkobar Perang Banten. Rakyat yang bermukim di bantaran Sungai Cisadane kecewa karena Ratu Syarifah yang menjadi penguasa Kesultanan Banten telah menyerahkan kawasan subur kepada VOC. Terjadilah pemberontakan rakyat yang dimpimpin Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Puri yang belum selesai dibangun di Buitenzorg itu dibakar dalam salah satu serangan.
Jacob Mossel, Gubemur Jenderal yang menggantikan Van Imhoff, kemudian melanjutkan pembangunan Puri Buitenzorg yang mengalami kerusakan berat. Ia meneruskan desain yang ditinggalkan oleh van Imhoff.
Puri Buitenzorg menjadi tujuan favorit para Gubemur Jenderal serta petinggi VOC dan kemudian tempat kediaman resmi bagi Gubemur Jenderal. Demikianlah, rencana membangun rumah Gubemur Jenderal dekat tangsi tentara di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta) urung dilaksanakan. Untuk jangka waktu yang panjang, para Gubemur Jenderal dan keluarganya tinggal di sebuah rumah besar di dalam Kasteel Batavia, tidak seberapa jauh dari Stadhui (sekarang Museum Sejarah Jakarta). Setiap Gubemur Jenderal menambah dan menyempurnakan Puri Buitenzorg sesuai dengan bertambahnya kebutuhan dan kemakmuran VOC.
Pada tahun 1802, di salah satu sudut halaman puri yang seluas 28 hektar itu didirikan sebuah gereja Protestan. Hingga sekarang gereja itu masih berfungsi, tetapi dipisahkan dari lahan Istana Bogor dengan pagar, agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum secara penuh. Bangunan asli gereja itu juga sudah diganti dengan yang baru pada awal abad ke-20. gereja itu sekarang dikenal dengan nama Zebaoth.
Bersamaan dengan bangunan gereja, dibangun pula dapur pembuatan roti dan kue, sebuah ruang untuk bermain, dan tempat minum kopi di halaman. Sebuah rumah sakit juga didirikan di belakang kompleks Puri Buitenzorg. Rumah sakit itu sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia, terletak di Jalan Pajajaran. Pada masa lalu, lahan rumah sakit itu masih menjadi bagian dari halaman luas Puri Buitenzorg.
Gubemur Jederal Herman Willem Dandels, yang menciptakan proyek jalan raya pos Anyer-Panarukan, rupanya ia juga seorang maniak dalam soal konstruksi. Ia mengubah sayap kanan dan kiri Puri Buitenzorg itu menjadi bangunan dua tingkat. Akan tetapi selama pembangunan itu Daendels secara serampangan memakai bangunan utama sebagai gudang penyimpanan bahan-bahan banguan yang sebagian besar didatangkan dari Negeri Belanda.
Ketika Inggris berkuasa atas wilayah Jawa dan tanah seberang pada tahun 1811-1816, Letnan (wakil) Gubemur Sir Thomas Stamford Raffles menggunakan Puri Buitenzorg sebagai kediaman resminya. Bila berada di Batvia, ia berkantor di sebuah gedung bekas rumah saudagar di Rijswijk (sekarang Jalan Veteran, Jakarta) – gedung itu oleh banyak orang kemudian disebut sebagai Raffles House yang berlokasi di tempat yang kini menjadi gedung Bina Graha.
Raffles melakukan pemugaran besar-besaran pada bangunan tengah serta mengubah kebun di sekeliling istana menjadi kebun bergaya Inggris. Ia bahkan memulai pembangunan kebun raya di atas lahan yang mengelilingi Puri Buitenzorg. Pembangunan Hortus Bogoriensis itu dipimpin oleh seorang guru besar C.C.C. Reinwardt untuk menghimpun dan melestarikan kekayaan ragam tumbuh-tumbuhan yang terdapat di bumi Nusantara. Pada tahun 1844, untuk melengkapi kebun raya, dibangun pula Herbarium Bogoriensis untyk menyimpan berbagai data tentang flora Nusantara.
Hortus Bogoriensis dan Herbarium Bogoriensis juga membuat Bogor sebagai referensi baru bagi para ilmuwan botani. Sejumlah ahli dari Eropa datang ke Kebun Raya Bogor untuk memperdalam pengetahuan. Seorang diantaranya, Emest Haeckel, menulis tajuk Maleische Reisebriefe (Kisah Perjalanan ke Tanah Melayu), bahwa sejak pagi pertama keberadaannya di Buitenzorg, ia merasa seolah-olah berada di Taman Firdaus. Semua bayangan tentang keindahan Taman Firdaus mewujud di Hortus Bogoriensis, tulis Haeckel.
Pada masa pemerintahan Inggris itu pula oleh Raffles didatangkan enam pasang rusa dari daerah perbatasan Nepal dan India, yang kemudian dibiarkan merumput di halaman puri yang luas dan rindang, dan terus bgeranak pinak dengan subur.
Setelah Belanda kembali berkuasa atas tanah Jawa, Gubemur G.A.G. Ph. Baron Van Der Capellen (1819 – 1926) meneruskan pemugaran yang dilakukan Raffles atas gedung induk Puri Buitenzorg. Di atas gedung itu, ia membangun sebuah menara untuk menambah kemegahan Puri.
Pada 10 Oktober 1834, gempa bumi hebat merusakkan puri yang telah menjadi bangunan tambal sulam campur aduk berbagai corak arsitektur itu.
Pada 1850, Gubemur Jenderal Albertus Jacob Duymaer Van Twist memutuskan untuk merubuhkan semua bangunan, dan membangun kembali sebuah istana dengan konsep arsitektur yang sama sekali baru. Malapetaka gempa bumi itu juga mengingatkan para perencana untuk tidak membangun puri yang rentan terhadap gempa. Diputuskanlah mendirikan puri berlantai satu mengikuti gaya Paladio yang populer di Eropa pada abad ke–19. Hanya denah puri saja yang masih dipertahankan, yaitu konsep bangunan induk di tengah, dan masing-masing sebuah bangunan di sayap kanan dan kiri. Untuk menghubungkan gedung induk dengan gedung sayap, dibangunlah jembatan lengkung dari kayu.
Pembangunan kembali Puri Buitenzorg baru selesai pada masa pemerintahan Gubemur Jenderal Charles Ferdinand Pahud (1856 – 1861). Pada 1870, Puri Buitenzorg ditetapkan sebagai istana kediaman resmi, bukan lagi rumah tetirah bagi para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda. Kenyataannya, Istana Buitenzorg memang telah menjadi bangunan yang lebih anggun dan berwibawa dibanding bekas rumah saudagar di Rijswijk yang diambil-alih pada tahun 1816 untuk menjadi kediaman Gubemur Jenderal di Batavia. Dengan keputusan itu, pemerintah penjajah Hindia-Belanda membatalkan rencana membangun istana bagi Gubemur Jenderal di Waterlooplein. Bangunan yang sudah dimulai sejak masa Daendels itu kemudian diperuntukkan sebagai gedung kantor Pemerintahan.
Silih berganti para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda bermukim di Istana Buitenzorg yang megah, mewah, dan nyaman. Contohnya adalah Gubemur Jenderal Dirk Fock (1921 – 1926) yang menaikkan berbagai macam pajak yang sangat menyusahkan rakyat terjajah. Kemudian Gubemur Jenderal B.C. De Jonge (1931 – 1936) yang bertangan besi. Ia menangkap para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia – antara lain Soekarno, Hatta, dan Sjahrir – dan membuangnya ke pengasingan.
Bangunan baru Istana Buitenzorg itu juga memiliki menara di atas gedung induknya. Tepat di bawah menara itu terdapatlah tempat untuk para musisi memainkan musik bila diselenggarakan pesta-pesta dansa. Ruang utama dibawah menara itu – sekarang disebut Ruang Garuda – dulu adalah danszaal (ruang dansa) tempat para bangsawan, pejabat pemerintah dan militer, serta saudagar Belanda melakukan pesta-pesta meriah. Pada saat-saat pesta, lampu-lampu gas yang biasanya dipakai sebagai penerangan istana diganti dengan lilin-lilin yang romantis.
Titik dibawah menara itu juga ditetapkan sebagai poros untuk memperhitungkan rencana pemasangan pipa air minum bagi semua warga kota Bogor. Bila pintu-pintunya dibuka, danszaal itu tepat menghadap ke utara, yakni ke jalan utama menuju Batavia melalui Cibinong.
Pada masa pendudukan Jepang, dengan pilu Gubemur Jendera Tjarda Van Starkenborgh-Stachower terpaksa menyerahkan Istana Buitenzorg kepada bala tentara Jepang di Kalijati. Istana Bogor kemudian menjadi markas Tentara Pendudukan Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Imamura.
Apa yang terjadi kemudian di Istana Bogor adalah lembaran paling kelam dalam sejarahnya. Jepang memakai bagian bawah tanah sebagai sel-sel tahanan untuk memenjarakan orang Belanda yang ditangkapnya. Seluruh dinding luar Istana Bogor dicat dengan wama hitam agar tersamar dari serangan udara. Kolam-kolam indah yang dibangun pada masa Raffles dikeringkan airnya agar tidak memantulkan cahaya yang bias tampak dari udara, dan kemudian ditanami semak-semak.
Rumput di halaman Istana Bogor yang luas dibiarkan liar meninggi. Rusa-rusa yang jumlahnya sudah mencapai ratusan, mulai punah karena setiap hari disembelih dan dimakan oleh serdadu Jepang. Untungnya, rumput yang sudah tumbuh tinggi justru merupakan tempat persembunyian yang baik bagi beberapa ekor rusa. Karena terlindung dibalik rumput itulah populasi rusa Istana Bogor tidak sepenuhnya binasa selama pendudukan Jepang antara 1942 – 1945.
Tentara Pendudukan Jepang juga mengangkut pelbagai benda seni dari Istana Buitenzorg ke Negeri Matahari Terbit. Berbagai keris dan tombak pusaka yang penuh sejarah – upeti para raja dan sultan kepada para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda lenyap dari bumi persada Nusantara. Serdadu Jepang juga mencabuti semua benda yang terbuat dari logam untuk dilebur menjadi alat-alat persenjataan. Tiang-tiang lampu yang indah dari Eropa, besi cor yang dipakai sebagai pagar dan elemen artistic bangunan Istana, semuanya dibongkar.
Dalam kondisi compang-camping seperti itulah Istana Bogor pada tahun 1945 direbut oleh sekitar 200 pemuda Indonesia yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat, setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu pada akhir Perang Dunia Kedua. Namun, para pemuda itupun kemudian dipaksa meninggalkan Istana Bogor karena kompleks ini direbut kembali oleh Tentara Pendudukan Sekutu yang justru merintis jalan bagi kembalinya administrasi Hindia-Belanda yang sebelumnya mengungsi ke Australia.
Baru pada akhir tahun 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Istana Bogor diserahkan secara resmi oleh Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Hanya lima buah cermin besar yang masih tergantung di dinding menjadi barang inventaris Istana Bogor yang diserahkan kepada bangsa Indonesia ketika itu.
Namun demikian, Istana Bogor tidak segera memperoleh perhatian Pemerintah Republik Indonesia. Usia muda kemerdekaan yang baru diproklamasikan itu membuat para pemimpin Negara lebih terpusat perhatiannya pada urusan penyelenggaraan Negara.
Presiden Soekarno baru mulai melakukan pemugaran secara bertahap sejak tahun 1952. yang pertama dipugar adalah bagian depan bangunan induk. Ditambahkan sebuah beranda (portico) yang ditopang oleh enam tiang berlaras lonia. Beranda ini menyambung dengan serambi depan dengan sepuluh saka bergaya sama. Tidak sekadar menambah keanggunan Istana, beranda baru ini juga berfungsi untuk melindungi tamu agung dari hujan yang sering tercurah di Bogor. Beberapa mobil dapat sekaligus berhenti dibawah beranda ini untuk menurunkan penumpang. Dalam memugar Istana Bogor, Bung Karno tetap mempertahankan gaya arsitektur Palladio, Jembatan kayu yang menghubungkan bangunan induk dengan kedua sayapnya kemudian diganti menjadi koridor.
Pemugaran Istana Bogor dipercepat menjelang sebuah pertemuan politik pemimpin lima Negara sebagai tindak lanjut dari pertemuan di Colombo pada tahun 1954 yang belum mencapai kata sepakat. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundang para Perdana Menteri India, Burma, Sri Lanka, dan Pakistan untuk melanjutkan pembicaraan di Indonesia.
Pada tahun 1954 itu pula, di halaman Istana Bogor yang luas juga dibangun dan dipugar lima buah pavilion – Amarta, Madukara, Pringgodani, Dwarawatim dan Jodipoti yang lebih dikenal dengan Paviliun 1, 2, 3, 4, dan 5 – yang terpisah agak jauh dari bangunan-bangunan utama Istana. Salah satunya, sebuah pavilion kecil yang kini dikenal sebagai Paviliun Amarta (atau paviliun 2), adalah tempat kesukaan Bung Karno. Ia sering menginap di Paviliun Amarta ini bila sedang berada di Istana Bogor.
Bung Karno juga menanam tiga pohon beringin di halaman Istana Bogor untuk menandai kelahiran tiga putranya: Guruh, Taufan, dan Bayu.
Di Bogor, tepatnya di Batutulis, Bung Karno juga membeli sebidang tanah yang dipakainya untuk membangun rumah pribadi. Ia juga menugasi arsitek R.M. Soedarsono untuk mendesain rumah itu. Gaya arsitektur rumah pribadi Bung Karno itu mirip dengan Wisma Dyah Bayurini dan Istana Tampaksiring. Dari jendela lebar di ruang tamu, Gunung Salak yang menjulang di kejauhan dan Sunga Cisadane yang mengalir nun di bawah sana tampak bagaikan lukisan yang amat indah.
Pada tahun 1997, sebuah masjid umum dibangun untuk mengganti masjid sederhana yang telah lebih dulu ditambahkan di dekat dapur umum. Masjid itu sengaja diletakkan di bagian samping depan Istana, agar mudah dijangkau oleh masyarakat umum.
Berdasarkan luas bangunan dan tanahnya, Istana Bogor merupakan istana terbesar dan
terluas dari lima Istana Kepresidenan yang lain.
Sementara itu, rusa-rusa yang menghuni halaman Istana Bogor terus beranak-pinak hingga mencapai 700-an ekor, padahal daya dukung halaman Istana Bogor sebetulnya hanya ideal untuk 300 ekor rusa. Untuk mengurangi jumlahnya, beberapa ekor rusa telah dipindahkan ke Istana Tampaksiring di Bali, kompleks Badan Intelijen Negara di Jakarta, dan beberapa kantor Gubemur di tanah air. Semua langkah tertata untuk konservasi rusa ini dilaksanakan pada masa Presiden Megawati.
Hamparan rumput Istana juga dihiasi dengan beberapa tempayan-tempayan besar tanah liat, yang dibuat pada masa Bung Karno. Dari masa penjajahan Belanda masih tertinggal beberapa tempayan asli dari Cina. Menurut cerita, Bung Karno pernah mengutus seorang staf Istana untuk membeli tempayan yang biasa dipakai sebagai penyimpan kedelai di pabrik tabu kepunyaan orang-orang Tionghoa. Akan tetapi, temyata tidak seorang pun bersedia menjualnya karena benda itu selain langka memang sangat diperlukan dalam pembuatan tahu. Staf Istana itu kemudian diam-diam mencoba membuat tempayan semacam itu di Plered, sebuah tempat di Jawa Barat yang memang terkenal kerajinan tanah liatnya. Percobaan itu temyata berhasil, sehingga Bung Karno memesan banyak lagi tempayan besar dari Plered yang hingga kini menghiasi halaman Istana Bogor.
Dulu Bung Karno juga sempat mendatangkan beberapa pasang angsa dari Swiss untuk dipelihara di kolam-kolam Istana. Tetapi, angsa-angsa itu tidak sanggup bertahan hidup lama di cuaca tropis.
Menjelang 1960, Istana Bogor menjalankan fungsi yang sama dengan Istana Merdeka dan Istana Negara di Jakarta: sebagai tempat kediaman sekaligus tempat kerja Presiden Republik Indonesia. Bung Karno membagi waktunya antara Jakarta dan Bogor secara tetap, setelah menikahi Ibu Hartini di Istana Cipanas pada 1953. Setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu ia akan berada di Istana Bogor; pada hari-hari lain, di Istana Merdeka Jakarta. Dengan pengaturan ini Ibu Hartini pun kemudian dimukimkan di Paviliun Amarta (Paviliun 2) Istana Bogor. Bangunan induk tetap dipergunakan untuk Ibu Fatmawati dan putra-putrinya. Di bangunan induk ini, Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati ruang depan dengan jendela menghadap ke halaman depan Istana Bogor.
Bilamana Bung Karno datang dengan helikopter ke Istana Bogor, Muhammad, Kepala
Rumah Tangga Istana Bogor setelah Burcher, selalu memastikan ada lontong, sate ayam, dan nasi goreng pete kesukaan Bung Karno. Sebab, pada suatu ketika, Bung Karno sempat "hilang" dari Istana dan baru ditemukan beberapa saat kemudian setelah sebuah oplet menyelonong melewati gapura Istana. Penumpangnya temyata adalah Bung Karno. Ia baru saja keluar Istana berjalan kaki mencari lontong dan sate di Pasar Bogor, tepat di samping Istana, dan pulang naik oplet.
Soekarno juga melakukan pertemuan dengan para tamu negara dan menteri-menteri di Istana Bogor. Sidang kabinet pun tak jarang diselenggarakan di sana.
Di Istana Bogor pula Bung Karno mencanangkan pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian pada 31 Desember 1961.
Seiring dengan makin berperannya Indonesia dalam percaturan dunia, Istana Bogor mewadahi pertemuan lima Perdana Menteri pada 1954: Ali Sastroamidjojo (tuan rumah), Pandit Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali (Pakistan), Sir John Kotelawala (Sri Lanka), U Nu (Burma). Pertemuan itu berhasil mencapai kesepakatan untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun berikutnya -sebuah langkah awal strategis untuk mengokohkan kerja sama negara-negara Asia dan Afrika, yang juga merupakan cikal bakal Gerakan Non-Blok yang pada 1992 -1995 diketuai oleh Presiden Soeharto.
Hingga sekarang, ruang tempat pertemuan para perdana menteri lima negara itu masih disebut sebagai Ruang Pancanegara. Bendera-bendera kebangsaan lima negara masih menghiasi ruangan itu. Tatanan meja-kursi itu pun masih dipertahankan.
Ruang Pancanegara itu terletak di gedung sayap kiri. Gedung yang memiliki enam kamar tidur yang bagi para tamu negara setingkat menteri ini dilengkapi juga dengan sebuah ruang makan dan ruang duduk. Pada masa Belanda, sayap kiri ini dipergunakan bagi hunian staf Gubemur Jenderal.
Gedung sayap kanan diperuntukkan tamu-tamu negara setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan. Pada masa Belanda bagian ini juga menjalankan fungsi yang sama. Bagian ini hanya terdiri atas empat kamar tidur. Satu-satunya anggota keluarga Kerajaan Belanda yang pemah menginap di sini adalah Pangeran Willem Frederik Hendrik pada 1837. Beberapa raja dan presiden telah menjadi tamu Republik Indonesia di Istana Bogor.
Di bagian depan, di belakang serambi terbuka gedung induk Istana Bogor, terdapat sebuah bangsal yang kini dikenal dengan sebutan Ruang Teratai. Penamaan demikian bermula dengan adanya sebuah lukisan bunga teratai karya c.L. Dake, Jr. yang menjadi elemen artistik paling menonjol di ruang duduk itu. Ini adalah lukisan yang dibuat pada 1952 berdasarkan teratai besar (Victoria regia) dari Amazon, Brazil, yang menghiasi kolam di depan Istana Bogor.
Di antara Ruang Teratai dengan balairung utama di belakangnya, terdapat sebuah koridor kecil yang disangga empat saka berlaras Korintia. Pada dinding-dinding sisinya, tergantung cermin besar berbingkai emas yang diletakkan berhadapan, sehingga menciptakan refleksi seolah-olah ada seribu bayangan terpantul hingga nun ke ujung sana. Cermin ini dikenal dengan sebutan Kaca Seribu. Cermin dan saka-saka Korintia ini merupakan sedikit saja dari elemen artistik yang masih asli sejak dibangunnya Istana ini pada tahun 1850.
Balairung utama Istana Bogor sempat pula digunakan beberapa kali oleh Presiden Soekarno untuk pesta-pesta tari lenso. Ruang ini kemudian diberi nama Ruang Garuda karena penempatan lambang negara Garuda Pancasila pada dinding kepala.
Balairung yang kini ditebari dengan permadani Persia adalah bagian yang paling anggun di Istana Bogor. Enam belas saka berlaras Korintia menopang langit-Iangit berbentuk kubah yang dihias relief bergaya Yunani. Beberapa kandelabra kristal digantung di langit-langit. Di Ruang Garuda ini diselenggarakan acara-acara yang bersifat formal: jamuan santap resmi, pertemuan pertunjukan kesenian, serta peristiwa penting lainnya.
Pada masa Bung Karno, beberapa kali diselenggarakan sidang kabinet di ruang ini. Presiden Soekarno juga beberapa kali menerima surat kepercayaan para duta besar di balairung ini. Pada masa Presiden Soeharto, di balairung ini diselenggarakan pertemuan para kepala negara APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995.
Ruang tidur utama di gedung induk hingga kini masih dijuluki sebagai Kamar Raja. Di kamar itu terdapat sebuah tempat tidur yang panjangnya hampir tiga meter - khusus dibuat untuk Raja Ibnu Saud dari Saudi Arabia yang pernah berencana mengunjungi Indonesia. Sayangnya, ia membatalkan muhibahnya karena kondisi kesehatannya. Ruang ini dulu merupakan tempat tidur bagi putra-putri Presiden Soekarno.
Pada arah yang berlawanan, sebelum koridor menuju sayap kiri, adalah sebuah ruangan yang dulu dipakai Bung Karno sebagai tempat untuk memutar film. Setiap menjelang akhir pekan, petugas Istana Bogor berangkat ke Jakarta untuk mengambil film-film yang akan dipertunjukkan. Di samping keluarga dan staf Istana, Bung Karno juga sering mengundang pejabat setempat untuk ikut melihat pemutaran film.
Ruang kerja Presiden yang terletak di bagian kiri belakang gedung induk adalah ruang yang besar - bahkan lebih besar dari ruang kerja Presiden di Istana Merdeka dengan jendela-jendela dan pintu besar yang menghadap ke Kebun Raya.
Sejak ditinggalkan oleh Bung Karno, ruang ini tak pernah dipakai sebagai ruang kerja oleh para presiden berikutnya. Karenanya, ruang ini masih dibiarkan sebagaimana tatanan aslinya ketika masih dipergunakan Bung Karno. Sebuah tenunan songket dari benang emas ditaruh di atas meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati. Meja kerja ini menghadap sebuah dinding yang semula mempunyai dua jendela. Dinding besar itu kemudian dimanfaatkan Bung Karno untuk menggantung lukisan besar karya pelukis Rusia, Konstantin Egorovich Makowsky, yang dihadiahkan kepada Bung Karno ketika berkunjung ke Uni Soviet pada 1956. Sebuah lukisan besar Makowsky lainnya tergantung di ruang makan Istana Bogor. Lukisan itu - dibuat pada 1891 dan menggambarkan Pesta Dewa Anggur - dibeli Bung Karno dari sebuah galeri di Roma pada 1961.
Di Paviliun Amarta (Paviliun 2), pada 11 Maret 1966, tiga orang petinggi militer Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud - menghadap Presiden Soekarno untuk membicarakan situasi keamanan dan politik Republik Indonesia. Dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil Perdana Menteri I (Waperdam), Dr. Soebandrio, Waperdam II, Dr. J. Leimena, dan Waperdam III, Dr. Chairul Saleh. Pertemuan inilah yang menghasilkan Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar
Lepas dari polemik sejarah tentang Supersemar, dokumen yang ditandatangani di Istana Bogor itu menandai awal Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.
Istana di Kota Hujan ini tidak saja mewadahi momen-momen penting sejarah bangsa, melainkan juga perdamaian dan kerja sarna internasional maupun regional. Pada 25-30 Juli 1988, misalnya, di sini diselenggarakan The Jakarta Informal Meeting. Pertemuan ini khusus untuk membahas konflik di Kamboja yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara ASEAN, Laos, dan Vietnam, juga empat faksi yang bertikai di Kamboja, yaitu Wakil Presiden Republik Demokrasi Kampuchea Khieu Samphan, Presiden Front Pembebasan Rakyat Khmer Son Sann, Pangeran Norodom Ranariddh sebagai Wakil Pribadi Raja Norodom Sihanouk, dan Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen.
Istana Bogor menjadi tempat kelahiran Deklarasi Bogor ketika 18 kepala negara di kawasan Pasifik, di antaranya Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, berkumpul dalam konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995. Deklarasi Bogor adalah kesepakatan yang menentukan jadwal pelaksanaan pasar bebas untuk kawasan Asia-Pasifik mulai tahun 2003.
Kenyataan bahwa bukan Istana Jakarta yang dipakai untuk pertemuan kepala negara APEC - dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta - barangkali membuktikan bahwa Istana Merdeka maupun Istana Negara terlalu kecil untuk penyelenggaraan peristiwa besar seperti itu. Terpilihnya Bogor sebagai tempat penyelenggaraan Summit APEC adalah juga karena pertimbangan keamanan.
Istana Bogor juga pernah dipakai sebagai tempat penataran Manggala/Penatar Nasional oleh BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) antara tahun 1979-1996. Semula program ini diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah. Setelah beberapa angkatan berjalan, Presiden Soeharto kemudian menyarankan agar acara demikian dilaksanakan di Istana Bogor.
Selama penataran, para peserta tidur di kamar-kamar gedung utama maupun di paviliun-paviliun Istana Bogor. Karena terbatasnya ruangan, satu kamar dihuni oleh sekitar tiga peserta. Pengalaman seperti itu ternyata membuahkan kesan mendalam pada para peserta. Ada seorang pastor yang selalu bangun pagi dan membangunkan temannya sekamar - seorang kiai - agar menunaikan salat subuh. Pak Harto juga sering datang dan ikut duduk berdiskusi dengan para peserta penataran.
Boleh dikatakan semua pejabat tinggi negara dan anggota DPR hingga periode 1998 telah melewati pintu Istana Bogor untuk menjalani penataran maupun pembekalan. Mulai Januari 1996, di Istana Bogor diselenggarakan penataran yang sifatnya berbeda sama sekali. Penataran untuk pejabat tinggi, semua Eselon 1, gubernur, kepala staf angkatan, panglima, rektor, dan sebagainya yang lebih ditekankan pada acara diskusi untuk mengantisipasi dampak globalisasi.
Di tempat ini juga dilakukan Pembekalan Calon Anggota Legislatif dengan format diskusi bebas sekitar masalah konstitusional dan isu mutakhir.
Dalam peringatan "Indonesia Emas" - 50 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia - di halaman belakang Istana dipentaskan orkes simfoni yang dipimpin oleh konduktor Addie MS. Pada bulan April 1999, di tempat yang sama dipergelarkan pula sebuah konser amal untuk mengumpulkan dana bagi program kemanusiaan. Istana Bogor bahkan pernah menjadi tempat penyelenggaraan Pekan Buku Internasional pada 1971. Belakangan ini, Istana Bogor makin sering dipergunakan untuk pergelaran musik maupun kesenian yang lain.
Mengilas-balik sejenak ke masa lampau, Wisma Dyah Bayurini yang dibangun Bung Karno, tidak sempat dimanfaatkan seeara intensif oleh presiden pertama dan keluarganya karena kondisi politik yang memburuk sejak 1965. Namun, penggantinya, Presiden Soeharto, kemudian banyak memanfaatkannya, sebagai tempat bermalam bersama keluarga. Di masa ini dibangun sebuah kolam renang untuk putra-putri Pak Harto yang sebagian masih kecil-kecil dan sebagian lagi baru berangkat remaja. Ketika putra-putri itu sudah semuanya dewasa, Wisma ini jarang dikunjungi. Akan tetapi, ketika Presiden Soeharto sudah mulai memperoleh cucu-cucu, Wisma Dyah Bayurini pun jadi kembali semarak. Ibu Tien Soeharto sering mengajak cucu-cucu bercengkerama di tempat itu.
Pada masa Presiden Megawati, Istana Bogor mengalami perubahan interior dengan mengganti gorden menjadi vitrase, dan karpet wall-to-wall menjadi karpet lembaran dari Persia. Mebel-mebel bergaya art deeD yang semula diadakan oleh Bung Karno untuk Istana Bogor karya bengkel mebel Tsu Jiek di Jakarta - dikembalikan lagi ke tempatnya, untuk menggantikan mebel ukiran Jepara yang sempat dipakai selama puluhan tahun. "Mebel Bung Karno" itu terasa lebih hangat dan akrab dengan suasana Istana Bogor.
Istana Cipanas
Terletak di kaki Gunung Gede, bangunan yang kini menjadi Istana Cipanas sejak awal benar-benar tempat tetirah bagi para Gubernur Jenderal, bukan gedung pemerintahan atau rumah dinas seperti Istana Bogor atau Istana Merdeka. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta udara pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai tempat persinggahan yang digemari para pejabat tinggi. Penciptanya adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron Van Imhoff, yang juga menggagas Puri Buitenzorg.
Di benak Van Imhoff-Iah muncul gagasan kolonisasi Jawa di benak Van Imhoff - dan ia segera melaksanakannya dengan kolonisasi kawasan sekitar Batavia, dan kemudian meluas ke daerah Priangan. Pada 20 Agustus 1742, ia memulai ekspedisinya yang diikuti oleh dua orang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah, dan seorang pendeta. Ekspedisi ini dikawal sepasukan grenadiers VOC yang dipimpin oleh seorang letnan kolonel.
Ekspedisi ini mencapai Kampung Baru pada 23 Agustus 1742. Van Imhoff jatuh cinta Pada suasana asri alam pegunungan di kawasan itu, dan menandai kawasan itu dengan nama Buitenzorg (pada saat itu masih dieja sebagai Buyten Sorg, yang berarti: tanpa peduli, atau without worry dalam bahasa Inggris, sans sauci dalam bahasa Prancis). Bahkan pada saat itu ia sudah bercita-cita untuk membangun rumah peristirahatan bergaya puri di situ.
Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di Cisarua. Di tempat sejuk ini Dokter Jordens menyetujui rencana sang Gubernur Jenderal untuk mendirikan rumah sakit VOC. Dari sana rombongan terus mendaki ke arah Puncak. Pada sore hari mereka tiba di sebuah sumber air panas yang menyembur di bawah sebatang pohon karet munding. Cipanas yang berarti air panas dalam bahasa Sunda, dicatat Van Imhoff sebagai lokasi yang berjarak 24 paal dari Buitenzorg. Ia segera berhasrat membangun sebuah rumah tetirah di tempat itu. Bahkan ia langsung mengutus juru ukur untuk membuat peta dan mematok kapling untuk bangunan yang dicita-citakannya.
Dalam tahun itu juga, rumah tetirah di Cipanas itu mulai dibangun. Tukang-tukang kayu didatangkan khusus dari Tegal dan Banyumas, artisan yang dikenal rajin dan rapi garapannya. Sketsa dasar bangunannya dibuat sendiri oleh Van Imhoff. Vila itu selesai empat tahun kemudian. Selama masa pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok, sekaligus untuk berendam air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan untuk minum air dari sumber itu - yang diketahui mengandung belerang dan zat besi -dicampur dengan susu karena mempunyai khasiat penyembuhan.
Di situ pula Van Imhoff mulai ketagihan pijat. Orang-orang Tegal yang membangun rumah tetirah itu ternyata membawa seorang juru pijat yang cantik. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera mempermandikannya menjadi Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters. Sekalipun tidak dinikahi, Helena melahirkan tiga anak Baron Van Imhoff.
Di vila Cipanas itu pulalah Van Imhoff meninggal pada tahun 1750, setelah sakit selama dua bulan. Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang, Jakarta, dengan upacara kebesaran militer. Selain dikenal sebagai pembangun Puri Buitenzorg, rumah sakit Cisarua, dan vila Cipanas, Van Imhoff juga dikenal jasanya karena mendirikan Academie de Marine di Kalibesar Barat, menempati sebuah bangunan yang kelak bernama Toko Merah.
Van Imhoff tampaknya cukup mempunyai selera arsitektur yang baik. Bangunan rumah tetirah di tempat yang tingginya 1100 meter dari muka laut itu hampir seluruh konstruksinya - dari lantai hingga atap - dibangun dari bahan kayu jati. Elemen besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias bangunan. Dalam perkembangannya kemudian, beberapa lantai dan dinding direnovasi dengan bahan batu dan batako. Renovasi itu menghilangkan desain asli bangunan yang berkonsep rumah panggung.
Hingga sekarang pun pengunjung Istana Cipanas dapat segera merasakan keunikan arsitekturnya. Gaya dasarnya adalah rumah musim panas Eropa, tetapi dengan penguatan arsitektur tropis yang menyiratkan adanya keinginan untuk menampilkan nuansa Jawa Barat.
Ketika rumah tetirah itu dibangun, tentunya Van Imhoff tidak membayangkan bahwa dua setengah abad kemudian jalan di depan puri itu akan teramat ramai. Menurut catatan lama, bangunan ini bahkan tidak tampak dari jalan, terlindung di balik pepohonan tinggi ketika pertama kali dibangun dulu. Sumber air panasnya sendiri yang menjadi alasan utama pendirian rumah tetirah itu berada lebih dari seratus meter di belakang bangunan induk.
Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Inggris, ia menempatkan beberapa ratus orang di Cipanas untuk berkebun apel, bunga dan sayur, beternak sapi dan ayam, serta bekerja di penggilingan padi. Hasil produksi Cipanas ini - daging, susu, buah, sayur, padi, dan bunga - dikirim ke Buitenzorg dan Batavia untuk memenuhi kebutuhan para pejabat. Para pekerja itu ditempatkan di barak-barak yang dibangun tidak jauh dari rumah tetirah. Raffles sebenarnya mengikuti jejak Gubernur Jenderal Hindia - Belanda Daendels yang memulai sistem pengadaan pangan dari daerah penyangga.
Vila Cipanas ini tidak pernah dianggap sebagai puri resmi. Tidak semua Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan vila ini untuk tetirah - khususnya pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Perjalanan dari Batavia atau Buitenzorg dengan menunggang kuda mendaki ke Cipanas merupakan tantangan yang tidak terlalu menarik bagi para Gubernur Jenderal. Jaringan kereta api Batavia Buitenzorg baru mulai dioperasikan pada 1864.
Pada pertiga awal abad ke- 20, vila Cipanas pernah berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga tiga Gubernur Jenderal: Andreas Cornelis De Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer. Hingga kini, bufet dan kandelabra peninggalan StarkenborghStachouwer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terakhir, masih terdapat di sana.
Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan pembesar Jepang yang memang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas dalam perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Secara garis besar, bangunan induk yang dibangun Van Imhoff itu hingga kini masih kelihatan hampir seperti saat pertama selesai dibangun. Serambi depannya yang cukup luas itu ditutup dengan jendela-jendela kaca lebar pada kiri-kanannya untuk menahan tiupan angin dingin. Lantai serambi ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan tanah, membuatnya terkesan lebih anggun.
Bangunan induk ini mempunyai beberapa ruang tidur, ruang kerja, ruang rias, (sekarang menjadi ruang duduk), ruang makan, dan serambi belakang yang lebih luas daripada serambi depan. Dari serambi belakang ini tersaji pemandangan lereng gunung Gede dan Pangrango yang asri. Ruang makannya yang luas juga berfungsi sebagai ruang pertemuan.
Ketika vila Cipanas makin banyak dipakai, pada 1916 Pemerintah menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk. Paviliun-paviliun itu sekarang. bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima. Bagian belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan berbagai kesenian.
Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik Indonesia setelah penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana Presiden.
Presiden Sukarno cukup banyak memanfaatkan Istana Cipanas, terutama sebagai tempat mencari inspirasi bagi pidato-pidatonya, terutama untuk peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus. Suasana damai dan sejuk Cipanas bagaikan magnet yang mampu menarik semua gagasan yang tersimpan dalam benak Sukarno ke atas kertas. Di Istana Cipanas inilah Presiden pertama itu melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953.
Pada 1954, Bung Karno memerintahkan pembangunanan sebuah studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai tempat merenung. Puncak bukit itu dipilihnya karena merupakan sebuah titik tempat orang dapat memandang Gunung Gede pada pagi hari dengan jelas, sebelum kabut kemudian menutupi puncaknya.
Dua orang arsitek-R.M. Soedarsono dan F. Silaban - bersama-sama menggarap desain studio itu. Hasilnya adalah sebuah bangunan sederhana dari bahan dasar batu kali dan menonjolkannya sebagai ragam hias. Karenanya, gedung itu hingga sekarang disebut Gedung Bentol karena bentol-bentol batu kali yang diekspos, baik pada dinding maupun pada lantai luar bangunan.
Selain meja dan kursi kerja, hanya ada sebuah meja rendah, sebuah lemari, dan sebuah dipan kecil di dalam studio ini. Di lemari itu masih tersimpan salah satu mantel yang dulu sering digunakan Bung Karno.
Menurut cerita beberapa staf yang masih mengingat masa itu, Bung Karno biasanya datang pagi-pagi ke Gedung Bentol dengan membawa bahan-bahan untuk menulis. Pelayan menyediakan segelas kopi, segelas teh, segelas air, dan hidangan ringan ala kadarnya seperti pisang rebus, singkong rebus, kacang rebus. Sepanjang pagi, Presiden Sukarno bisa duduk diam menulis di dalam studionya tanpa merepotkan siapa-siapa. Bila sedang asyik menulis, ia bahkan sering minta santapan siangnya dibawakan ke Gedung Bentol.
Lahan Istana Cipanas yang naik-turun ini membuatnya menarik untuk melakukan jalan- jalan santai, lari-lari, atau berkuda mengelilingi kompleks. Di kompleks Istana Cipanas kini tersedia lapangan tenis, lapangan bermain untuk kanak-kanak, kolam pemancingan ikan, kolam renang, dan tentu saja juga kolam untuk berendam di air panas. Di dekat sumbernya dibangun tempat berendam khusus untuk Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan di depannya dibangun sebuah bangunan panjang untuk para pejabat tinggi negara menikmati sumber air panas belerang itu.
Bentangan seluruh lahan Istana terdiri dari taman istana dan hutan istana ibarat kebun raya yang memiliki ribuan pohon dan tumbuhan dari 170-an jenis.
Pada 1983, Pemerintah menambahkan dua bangunan baru, yakni paviliun kembar Nakula dan Sadewa yang berpendapa. Arsitek kedua bangunan itu adalah Siti Iswari, pegawai Rumah Tangga Kepresidenan. Selain gedung induk,saat ini terdapat 22 bangunan di kompleks Istana Cipanas. Bangunan-bangunan itu antara lain adalah perkantoran, mesjid, perumahan karyawan, dan poliklinik.
Pada masa Presiden Soeharto, kursi-kursi ukiran Jepara pun ditambahkan di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan dengan perabotan tinggalan lama. Namun demikian, lukisan-lukisan dan patung-patung yang dikoleksi Bung Karno masih merupakan hiasan utama interior dan eksterior Istana Cipanas, misalnya saja karya-karya Lee Man Fong, Theo Meier, Batara Lubis, Basoeki Abdullah, Rustamadji, Russel Flynt, Rudolf Bonnet, Dullah, dan S. Sudjojono.
Tampaknya, Istana Cipanas justru populer bagi beberapa wakil presiden. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno adalah para Wakil Presiden yang sering berkunjung ke sini. Pak Umar sering menggunakan Istana Cipanas selama libur Idul Fitri. Pak Try hampir selalu menggunakannya setiap pergantian tahun. Acara-acara keluarga seperti itu selalu meriah dihadiri oleh keluarga-keluarga besar mereka. Presiden Soeharto dan Presiden Habibie hanya sesekali saja bermalam di Istana Cipanas.
.
Tetapi, Presiden Megawati justru sering berkunjung ke sana, terutama untuk menanam berbagai pepohonan di kompleks Istana yang luas itu. Kegemaran Ibu Mega akan tanaman khususnya pohon buah-buahan - menemukan lahan yang cocok di Istana Cipanas.
Sebagai tempat tetirah, Istana Cipanas memang tidak banyak berperan sebagai tempat kejadian-kejadian bersejarah. Namun, di sinilah Presiden Sukarno pada 13 Desember 1965 mengadakan sidang kabinet untuk memutuskan perubahan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Kebijakan ini pada waktu itu populer dengan sebutan "sanering" (istilah ini tidak ditemukan dalam kamus bahasa Belanda maupun Inggris). Ini merupakan "sanering" yang kedua setelah sebelumnya pada 1950 Pemerintah - dalam program Kabinet Hatta untuk memperbaiki ekonomi rakyat - memangkas nilai Rupiah hingga setengahnya.
Meskipun Istana Cipanas tidak dirancang untuk menerima tamu negara, Ratu Juliana dari Belanda pernah singgah di sini pada 1971.
Pada tanggal 14-17 April 1993, Istana Cipanas juga menjadi tempat bagi pertemuan damai bagi faksi-faksi Filipina yang bertikai. Atas inisiatif Presiden Soeharto, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memimpin perundingan antara Pemerintah Filipina dan kelompok MNLF (Moro National Liberation Front) yang dipimpin oleh Nur Misuari. Semua delegasi menginap di kompleks istana Cipanas.
Istana Cipanas akan selalu berfungsi sebagaimana maksud pendirinya lebih dari dua setengah abad yang lalu, yakni sebagai tempat tetirah untuk menyegarkan raga dan pikiran bagi para penyelenggara tertinggi pemerintahan negara.
Istana Yogyakarta
Tak ada Istana Kepresidenan yang berperan begitu penting di masa revolusi kemerdekaan kecuali Istana Yogyakarta. Ketika Belanda melakukan agresi militer pada 3 Januari 1946 untuk menduduki kembali bekas jajahannya, pemerintahan Republik Indonesia terpaksa mengungsi ke Yogyakarta, di mana Presiden Sukarno dan keluarganya menempati sebuah rumah yang pernah menjadi kediaman resmi residen Belanda. Bangunan itulah yang kini menjadi Istana Yogyakarta.
Dalam sejarahnya bangunan yang lebih termasyhur dengan nama Gedung Agung di kalangan masyarakat setempat itu didirikan dengan memperhitungkan keberadaan sebuah benteng militer yang terletak tepat di depannya, di seberang jalan. Benteng yang dibangun pada 1767 itu sekarang masih tegak sebagai cagar budaya di sudut Jalan Malioboro dan Jalan Ahmad Yani yang bersebelahan dengan Pasar Beringharjo.
Mula-mula benteng itu bernama Rustenburg. Setelah gempa bumi pada 1867 ia dibangun kembali dan diganti namanya menjadi Vredenburg. Kedua nama itu mempunyai arti yang hampir mirip, yaitu kastil (benteng) damai. Nama yang sungguh berlawanan dengan fungsi bangunan! Sebab benteng itu dibangun dalam jarak tembak meriam ke arah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencegah kemungkinan pembangkangan di lingkungan keraton Yogyakarta.
Dengan trauma dari Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro selama 1825-1830, pihak Belanda harus memperhitungkan tempat yang aman dan terlindung untuk memukimkan pejabat tingginya. Ada dua versi catatan yang mengisahkan bagaimana tempat tinggal yang demikian itu dibangun.
Catatan pertama menyebut bahwa pembangunan gedung ini dimulai pada 1755 bersamaan dengan pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika itu Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat baru saja terbentuk sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram. Belanda yang ikut berperan dalam perpecahan itu mau tidak mau harus mendukung keinginan Sultan Hamengku Buwono I untuk mendirikan istana yang pantas. Maka dibangunlah gedung yang tidak kalah anggun bagi kediaman resmi Residen Belanda di Yogyakarta.
Catatan kedua menyebut bahwa kediaman resmi residen itu baru dibangun pada Mei 1824 ketika Residen Anthonie Hendriks Smissaert memegang jabatan. Arsiteknya A.A.J. Payen yang juga guru seni lukis Raden Saleh - ditunjuk langsung oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Belum selesai gedung dibangun pecahlah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Residen Smissaert mengungsi ke dalam Benteng Vredenburg. Pembangunan dilanjutkan lagi setelah Perang Diponegoro dan baru selesai pada 1832. Catatan ini tampaknya lebih masuk akal.
Gempa bumi yang telah disebut di atas meruntuhkan bangunan Residenan Yogyakarta itu. Di atas lahan yang sama segera didirikan bangunan baru dengan gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan yang selesai pada 1869 itulah yang hingga kini merupakan bangunan utama Gedung Agung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Agung menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa tertinggi Jepang di Yogyakarta.
Serangkaian gerbong kereta api yang sengaja digelapkan lampu-Iampunya berhenti di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Malam 3 Januari 1946 itu merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan diam-diam, Presiden Sukarno dan keluarganya naik ke gerbong. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarganya, juga para menteri dan pembantu dekat Presiden, ikut dalam perjalanan rahasia itu. Menembus gelap, kereta api pun menuju Yogyakarta. Pada malam yang sarna pasukan Belanda menyerbu Jatinegara, Jakarta. Ini adalah bagian dari agresi militer untuk menduduki kembali bekas tanah jajahan.
Esok paginya kereta api itu sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Keluarga Presiden Sukarno diantar ke Gedung Agung. Sebuah rumah di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi markas Korem 072 Pamungkas) telah disediakan untuk tempat tinggal keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta. Para menteri tersebar di berbagai rumah penduduk. Masing-masing "membuka kantor" di bagian depan rumah yang mereka tinggali. Hanya Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang tetap berdiam di Jakarta.
Pada tanggal 7 Januari 1946, KNI (Komite Nasional Indonesia) Daerah Yogyakarta menyelenggarakan acara penyambutan Presiden dan Wakil Presiden di ruang tengah Istana Yogyakarta. Sebelum kedatangan Presiden Soekarno, sejak direbut dari tangan Jepang pada tanggal 5 Oktober 1945, KNI menggunakan gedung itu sebagai kantornya. Tugas utama KNI pada waktu itu adalah melakukan rasionalisasi BKR (Barisan Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Dengan demikian, Yogyakarta resmi menjadi Ibu Kota Negara, Pemerintah Republik Indonesia yang belum berusia lima bulan telah hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta, wilayah yang sepenuhnya dikuasai Republik Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda yang selama pendudukan Jepang mengungsi ke Australia, telah kembali ke Jakarta dan tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Penghunian Gedung Agung oleh keluarga Presiden membuat julukan gedung itu oleh rakyat Yogyakarta. Orang Yogya pernah menyebutnya sebagai Residenan, yaitu tempat tinggal Residen. Ketika Karesidenan Yogyakarta ditingkatkan status administrasinya menjadi provinsi sejak tahun 1927, gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Gubernuran atau Loji Gubernur. Gedung itu kemudian berubah julukan menjadi Presidenan ketika Bung Karno dan keluarganya tinggal disana.
Gedung Agung mempunyai delapan kamar di bangunan utamanya itu sekaligus menjadi kediaman dan kantor Presiden Soekarno. Di sisi selatan gedung, Ruang Satu merupakan kamar tidur Bung Karno dan Ibu Fatmawati. Ruang Dua dipakai sebagai kamar kerja Presiden. Ruang Tiga dipakai untuk putra-putri Presiden. Ibu Fatmawati melahirkan Megawati Soekarnoputri, anak kedua, di Yogyakarta pada tahun 1946. Ruang Empat dipakai sebagai kamar tidur orang tua Ibu Fatmawati. Di antara keempat ruang ini juga terdapat ruang makan dan ruang tamu keluarga.
Di sisi utara terdapat empat ruangan yang simetris dengan sisi selatan. Keempat ruangan ini dipakai sebagai kantor Sekretariat Negara yang dipimpin oleh Abdul Gafar Pringgodigdo dan wakilnya, Mohamad Ichsan. Di belakang bangunan utama ini ada ruangan yang dipakai dsebagai tempat pementasan kesenian. Ruangan ini sekarang disebut Ruangan Kesenian. Bangunan ini berupa pendapa terbuka. Di utara dan selatan pendapa ini terdapat deretan kamar-kamar kecil yang dipakai oleh staf Presiden. Bila Perdana Menteri Sjahrir dating ke Yogyakarta, ia juga menginap di situ. Bahkan Tan Malaka dan kawan-kawan pernah juga ditahan di sana.
Di antara kedua sisi itu terdapat ruang utama, yaitu ruang yang terbesar di bangunan ini. Ruang ini merupakan ruang pertama yang dapat dicapai dari serambi depan dan sekarang disebut Ruang Garuda. Selain sebuah lambing Garuda Pancasila, di ruang itu juga dipajang beberapa lukisan pahlawan nasional: H.O.S. Tjokroaminoto (Affandi), Dokter Wahidin Sudirohusodo (Sudjono Abdullah), Dr. Sutomo (Dullah), M. Husni Thamrin (Soedarso), Dr. Tjipto Mangunkusumo (Soeromo), R.A. Kartini (Trubus S.), Diponegoro, Teuku Tjik Ditiro, dan Tuanku Imam Bondjol (S. Sudjojono).
Sebagian lantai marmer di Ruang Garuda kini ditutup dengan permadani merah. Di atasnya diatur beberapa deret kursi ukiran Jepara untuk beraudiensi. Pada masa Pemerintahan berpusat di Yogyakarta, Bung Karno melakukan sidang kabinet dan upacara-upacara resmi di ruangan ini.
Di belakang Ruang Garuda terdapat ruang makan yang cukup luas untuk jamuan kenegaraan. Bung Karno juga sering melakukan rapat-rapat besar yang dilakukan di pendapa belakang. Podium untuk rapat ditempatkan di panggung.
Setiap minggu Bung Karno juga memberi kuliah ketatanegaraan dan politik. Siapa saja boleh datang mendengar kuliahnya.
Di bagian depan, di sisi utara dan selatan Ruang Garuda, terdapat dua ruang tamu. Ruang tamu yang di sebelah selatan disebut Ruang Soedirman, sedangkan yang di sebelah utara disebut Ruang Diponegoro. Ruang selatan itu disebut Ruang Soedirman karena di ruang itulah Panglima Besar Soedirman dulu mohon diri kepada Presiden Sukarno untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Setiap tahun, para calon prajurit taruna AKABRI melakukan acara napak tilas dengan upacara di depan Gedung Agung dan berkunjung ke Ruang Soedirman. Di ruang itu sekarang terdapat patung dada Panglima Besar Soedirman dari perunggu serta beberapa lukisan.
Penamaan Ruang Diponegoro adalah untuk mengenang pahlawan besar itu. Di situ ditempatkan lukisan Pangeran Diponegoro - reproduksi dari lukisan Basuki Abdullah yang berada di Istana Merdeka, Jakarta.
Bung Karno, yang mempunyai kebiasaan bangun pagi, sering memulai kerjanya di ruang tamu keluarga. Seringkali santap paginya juga dibawa ke situ agar ia dapat sarapan sambil meneruskan penulisan berbagai surat serta dokumen. Di ruang tamu keluarga ini pula Bung Karno menerima para pembantu dekatnya untuk memberikan perintah kerja harian.
Sang Presiden suka mengajak orang-orang kebanyakan untuk mengobrol soal wayang di beranda Gedung Agung. Biasanya ia hanya mengenakan piyama dan Ibu Fatmawati menyuguhkan pisang atau singkong rebus yang membuat tamu-tamunya merasa seperti di rumah sendiri. Pada masa itu, Ibu Fatmawati masih suka memasak sendiri untuk keluarganya. Di masa perjuangan yang serba sulit itu, kadang-kadang Ibu Fatmawati menjadi kewalahan bila Guntur menginginkan ayam, sedangkan bahan makanan itu tidak tersedia.
Sekalipun dalam kondisi keuangan yang serba terbatas, pada masa itu Bung Karno sudah mulai bergaul dengan para seniman Yogyakarta dan membeli lukisan mereka. la membeli, antara lain, beberapa lukisan Affandi, S. Sudjojono, dan Sudjono Abdullah (adik Basoeki Abdullah). Sebaliknya, pata pelukis pun banyak menitipkan lukisan untuk menghias "rumah" kediaman Presiden yang mereka banggakan itu. Masa itu juga merupakan masa kejayaan Seniman Indonesia Muda, sebuah perhimpunan pelukis yang berpusat di Yogyakarta.
Maka Istana Yogyakarta terisi sejumlah lukisan penting karya seniman-seniman Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan dibubuhi kata-kata yang menunjukkan bahwa lukisan itu dihadiahkan kepada Bung Karno, sang patron yang telah memuliakan kehidupan seniman.
Dalam masa pengungsian di Yogyakarta itu, Bung Karno juga sempat diungsikan lagi ke Gunung Wilis di Jawa Timur. Pada suatu hari di bulan suci Ramadhan, Belanda mencederai Perjanjian Linggajati dan mengirim tentaranya untuk melakukan agresi ke berbagai sasaran secara serentak. Serangan terbesar, yakni ke Yogyakarta, terjadi pada 19 Desember 1948.
Serangan yang dilancarkan oleh Van Mook itu sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap etika negosiasi. Para delegasi Komisi Tiga Negara yang membantu menengahi sengketa baru saja selesai berunding dengan wakil-wakil Pemerintah Indonesia di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Merle Cochran, Ketua KTN mewakili Amerika Serikat, baru saja berangkat ke Jakarta membawa surat hasil kesepakatan pertemuan di Kaliurang itu.
Sejak subuh pada hari Minggu itu, Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas kota. Pasukan payung diterjunkan untuk menduduki berbagai instalasi strategis. Dalam waktu singkat pangkalan udara Maguwo berhasil direbut. Belanda juga berhasil mengebom Komando Militer Kota. Dapur Gedung Agung pun kejatuhan bom. Yogyakarta yang sedang kosong tentara dengan mudah direbut oleh pasukan Belanda.
Tinggal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gedung Agung saja yang belum berhasil diduduki Belanda. Kendaraan-kendaraan berlapis baja telah mengepung kedua kompleks istana itu. Panglima Besar Soedirman, yang dalam keadaan sakit parah datang ke Gedung Agung, meminta Presiden meninggalkan kota dan bergerilya di hutan. Bung Karno menolak, dan dengan kecewa Jenderal Soedirman berangkat bergerilya melalui jalur tenggara yang masih belum diduduki Belanda.
Dalam keterdesakan itu, Pemerintah sempat mengeluarkan maklumat melalui Radio Republik Indonesia bahwa Belanda telah melakukan agresi kedua, dan meminta agar rakyat terus berjuang. Maklumat berikutnya mengumumkan penunjukan Menteri Kemakmuran Mr. Sjafrudddin Prawiranegara, yang berada di Sumatra, untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia bila seandainya Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan. Jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat, mandat diberikan kepada Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di India untuk membentuk Pemerintah Darurat di Luar Negeri.
Yogyakarta akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar lainnya ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera putih hendak naik ke jip tentara Belanda disebarluaskan oleh pihak Belanda untuk mematahkan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Di beberapa lini perjuangan, Belanda menyebarkan foto itu melalui pesawat udara.
Bung Karno dan Bung Hatta dibuang ke Brastagi, dekat Medan, kemudian dipindahkan ke Pulau Bangka. Bung Karno ditempatkan di Mentok, sedangkan Bung Hatta di Bukit Menumbing. Untunglah, Bung Hatta sempat mendiktekan surat kepada T.B. Simatupang, yang ketika itu menjadi Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, dan menandatanganinya sebelum ditawan. Surat itu menjadi dasar legal bagi Angkatan Perang untuk melanjutkan perjuangan.
Ketika menduduki Yogyakarta, Belanda kembali menghuni puri di seberang Benteng Vredenburg itu. Namun, kenyataan itu tidak bertahan lama. Pada pagi hari 1 Maret 1949, pasukan Wehrkreise III di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto menyerang Yogyakarta dari segala jurusan dan berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Polisi militer Belanda yang menduduki Gedung Agung bahkan lari ke Benteng Vredenburg, seperti seabad sebelumnya ketika Residen Smissaert mengungsi ke benteng yang sarna karena serangan Pangeran Diponegoro.
Belanda akhirnya mundur diri dari Yogyakarta pada Juni 1949. Jenderal Soedirman dan Sjafruddin Prawiranegara, yang kembali ke Yogyakarta, mengambil alih Gedung Agung sambil menunggu kembalinya Bung Karno dan Bung Hatla dari pengasingan.
Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949 dan Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jakarta, Gedung Agung beralih fungsi menjadi Gedung Negara Yogyakarta.
Pada 1961, Presiden Sukarno menyampaikan pidato Trikora di Alun-alun Yogyakarta dan menginap di Gedung Agung. Pidato itu demikian penting karena merupakan titik sejarah dalam merebut kembali Irian Barat menjadi bagian Ibu Pertiwi.
Gedung Agung secara resmi diputuskan menjadi Istana Presiden Republik Indonesia pada 1972, dan dipergunakan sebagai tempat penginapan Presiden dan para tamu negara di Yogyakarta. Sebelumnya, pengelolaan dan perawatan Gedung Agung sejak 1954 ditangani oleh Kepatihan Danurejan. Sejak 1972, Gedung Agung mengalami renovasi agar layak bagi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Renovasi Gedung Agung Yogyakarta juga mengubah dinding-dindingnya yang semula ditutup kayu jati. Dinding kayu jati ini semula untuk menutup tembok yang aslinya terbuat dari adukan kapur, pasir, dan bata merah, yang ternyata tidak mampu menahan rembesan air dan membuatnya selalu lembab. Sekarang dinding-dindingnya adalah tembok dengan semen Portland yang dicat putih.
Sama dengan yang terjadi di Istana Jakarta, renovasi Gedung Agung juga melibatkan penututupan beberapa beranda dan serambi terbuka menjadi ruang-ruang tertutup dengan dinding dan jendela. Dengan renovasi demikian, sisi selatan diperuntukkan Presiden, sedangkan sisi utara Wakil Presiden.
Pada mulanya, unsur seni rupa Jawa terlihat sedikit di sana-sini dalam perpaduan dengan bentuk Barat, misalnya pada hisasan tiang-tiang besi di dekat tangga serambi atau pada lubang lubang angin di loteng. Kemudian, pada beberapa tahun terakhir ini ada usaha pengindonesiaan dengan menambahkan ukiran jati dari Jepara pada lis jendela dan gantungan tirai oleh Iwan Tirta.
Kemudian, Istana Yogyakarta direnovasi seeara terburu-buru untuk menyambut kedatangan Putra Mahkota Akihito (waktu itu belum menjadi Kaisar) dan Putri Michiko pada 1991.
Hanya tampak depan bangunan utamanya saja yang masih seperti aslinya. Bangunan bergaya Eropa ini berlantai satu dan mempunyai serambi depan yang melebar. Bagian depan serambi tidak ditopang dengan saka-saka Yunani, melainkan dengan sepuluh tiang besi cor. Di serambi terdapat tujuh pintu. Di antara pintu-pintu itu terdapat dua saka Doria sederhana, tanpa kapitel. Tiga pintu yang di tengah menuju ke Ruang Garuda. Masing-masing dua pintu di kanan dan kiri menuju ke ruangruang yang berada di kedua sisi bangunan.
Di halaman luas di depan Gedung Agung berdiri tiang bendera yang di depannya dikawal oleh sebuah area batu dwarapala. Arca kuno ini adalah satu dari empat area serupa yang ditemukan di daerah Kalasan.
Di halaman depan, dekat serambi depan, terdapat sebuah arca batu kuno setinggi tiga setengah meter. Dari kejauhan tampak seperti sebatang lilin besar, sehingga rakyat Yogyakarta menyebutnya Patung Lilin. Sebenarnya monumen ini adalah cupuwatu yang merupakan bentuk asli stupa yang disebut dagoba. Monumen dari batu andesit ini ditemukan di daerah sekitar Prambanan. Menilik ragam hiasnya, dagoba ini diduga dahulu berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah.
Istana Yogyakarta juga menyimpan sekitar 50 arca batu kuno yang ditemukan di daerah sekitar Yogyakarta. Arca-arca yang dikumpulkan para residen Belanda ini semula ditempatkan di Benteng Vredenburg. Semua area itu kini dirawat dan dilestarikan di sebuah sudut halaman belakang Istana.
Istana Yogyakarta merupakan kompleks Istana Kepresidenan yang paling kecil dari istana-istana lainnya. Di atas lahan itu kini telah berdiri berbagai bangunan tambahan. Satu bangunan sudah dibangun pada masa Belanda, yakni untuk wakil residen, terletak di bagian selatan sisi depan. Bangunan itu sekarang diberi nama Wisma Indraprasta dan dipakai untuk penginapan para pejabat.
Wisma Negara adalah bangunan tambahan yang dibuat pada 1980. Ini adalah bangunan berlantai dua dengan arsitektur model limasan, sesuai dengan tempatnya di Yogyakarta. Wisma Negara mempunyai 19 kamar untuk fasilitas menginap tamu-tamu setingkat menteri, di samping ruang makan dan ruang tamu yang luas. Bangunan ini didirikan di atas lahan yang semula lapangan tenis. Selain itu juga dibangun beberapa paviliun kecil - Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptapratala-untuk tempat menginap para ajudan, dokter, dan para pengawal tamu negara. Peresmian Wisma Negara dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono pada 1983.
Kompleks Seni Sono dipugar sejak 1995 sampai tiga tahun berikutnya. Kemudian Presiden B.J. Habibie meresmikan penggunaannya kembali. Bangunan aslinya yang didirikan tahun 1915 itu terletak di sudut selatan bagian depan kompleks Istana Yogyakarta, bersisian dengan Jalan K.H.A. Dahlan. Di masa lalu, bangunan ini pernah dipakai sebagai soos atau societeit (wisma rekreasi bagi warga asing), sebelum kemudian menjadi gedung bioskop, dan terakhir sekali dipakai sebagai galeri seni. Di sebelahnya, terdapat Kantor Wilayah Departemen Penerangan dan kantor perwakilan LKBN Antara.
Seni Sono dipugar dengan corak arsitektur Gedung Agung sebagai acuan, untuk menciptakan kesan serasi. Bangunan baru Seni Sono terdiri dari auditorium, tempat penyimpanan koleksi benda-benda seni, galeri pameran, dan perkantoran. Penyatuan Seni Sono menjadi bagian Istana Kepresidenan adalah upaya penataan sekaligus memberi tempat terhormat bagi pementasan clan pameran seni bagi kota Yogyakarta.
Selain Pangeran Akihito (sebelum menjadi Kaisar) dan Putri Michiko, adalah Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, serta Pangeran Charles dan Putri Diana yang pernah menginap di Gedung Agung.
Para tamu negara yang mengunjungi Istana Yogyakarta kini tidak akan lagi mendapatkan gelora masa perjuangan, karena Gedung Agung lebih berfungsi sebagai tempat persinggahan. Namun bagaimanapun ia - dengan interior, isi, dan lokasinya yang khas-tetap memberikan makna yang mendalam tentang lingkungan budaya yang telah menghidupinya dengan sepenuh hati.
Istana Tampaksiring
Bila dibandingkan dengan istana - istana kepresidenan yang berada di tengah kota besar yang sibuk atau di pinggir jalan raya yang ramai di Pulau Jawa, Istana Tampaksiring tampak istimewa. Ia bukan hanya terpencil sendiri di Pulau Bali, tapi juga seakan-akan mengawasi seluruh kedamaian lanskap pulau itu. Memandang ke arah selatan dari salah satu sudut Istana, akan tampaklah jalan yang raya yang menghubungkan pantai barat dengan Singaraja di pantai timur. Ke arah utara pada pagi hari cerah, terlihat Gunung Batur, dan sedikit ke arah timur, Gunung Agung menjulang.
Istana Tampaksiring istimewa karena ia adalah satu-satunya Istana yang dibangun pada masa kemerdekaan. Agaknya, Presiden Soekarno telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan bentangan tanah di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar itu. Matahari yang terbit dari belakang Gunung Agung, Pura Tirta Empul dengan kolam pemandiannya, hamparan teras sawah nun di bawah sana, juga suara sayup-sayup tetabuhan gamelan yang dibawa desir angina - semua itu telah menarik hati Bung Karno sejak menjejakkan kaki di sana.
Bung Karno menggagas pendirian sebuah kediaman presiden di Tampaksiring karena dengan semakin eratnya perhubungan dengan dunia - Indonesia mulai menerima banyak tamu negara yang banyak pula di antaranya yang menyatakan minat untuk mengunjungi Bali.
Sang presiden memang piawai memilih tempat-tempat yang akan dipakainya sebagai rumah hunian atau rumah tetirah. Untuk menentukan lokasi tanah bagi rumah kediaman pribadinya di kawasan Batutulis, Bogor, misalnya, ia menggunakan helikopter untuk memilih hamparan tanah yang mempunyai hadapan terbaik ke arah Gunung Salak. Namun Bung Karno tidak lagi memerlukan helikopter pada saat memilih lokasi tapak di Tampaksiring itu sebagai tempat untuk membangun Istana Kepresidenan. Dalam beberapa kali kunjungannya ke Bali sebelum 1955, ia sudah sering bermalam di rumah tetirah milik Raja Gianyar di Tampaksiring. Pada masa Raja Gianyar V dan VI, pesanggrahan itu banyak dimanfaatkan oleh para tamu asing, khususnya pejabat pemerintah Hindia - Belanda. Para orang tua di desa itu masih ingat bagaimana pesanggrahan itu tiba-tiba bersinar terang dengan cahaya lampu petromaks bila Bung Karno datang ke sana. Pada masa-masa awal kunjungannya ke Tampaksiring, selain ketiadaan listrik, Bung Karno juga masih menyaksikan betapa sulitnya orang memikul air mendaki lereng terjal untuk mencukupi kebutuhan di pesanggrahan.
Dari depan pesanggrahan itu, kolam pemandian Pura Tirta Empul hanya terpisahkan oleh tebing curam setinggi 50 meter. Dinding-dinding bukit seperti itulah yang barangkali merupakan asal nama Tampaksiring - dalam bahasa Bali berarti "telapak yang miring:' Menurut hikayat yang tercatat pada lontar Usana, Tampaksiring bermula dengan kisah Raja Mayadenawa yang sakti. Sifatnya yang angkara murka membuat Batara Indra mengirim balatentara untuk menangkapnya. Mayadenawa pun lari ke hutan dengan memiringkan telapak kakinya agar tidak dikenali jejaknya. la juga menciptakan sumber air beracun yang menyebabkan kematian balatentara pengejamya. Batara Indra kemudian menciptakan mata air lain sebagai penawar racun, yang kemudian dikenal sebagai Tirta Empul - berarti air umbul-umbul - yang hingga kini dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu Bali. Hikayat itu dilukiskan dalam relief batu paras yang menghiasi salah satu dinding Istana Tampaksiring.
Bung Karno juga menyukai beberapa pura yang terlihat magis di sekitar pesanggrahan Tampaksiring. Selain Pura Tirta yang berada di Tirta Empul, persis di bawah pesanggrahan terdapat Pura Tegeh dan Pura Puca di tengah hutan di belakang Tirta Empul, serta Pura Gunung Kawi yang tidak seberapa jauh dari pesanggrahan.
Kecintaan Bung Karno kepada pesanggrahan Tampaksiring membuat Raja Gianyar kemudian menyerahkan lahan pesanggrahan itu kepada negara. Pada 1955, Presiden Soekarno memerintahkan arsitek R.M. Soedarsono membuat rancang-bangun untuk Istana Kepresidenan di sana.
Pembangunan Istana Tampaksiring dipersiapkan pada 1956 oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Soedarsono sendiri adalah seorang arsitek di jawatan itu. Bangunan Wisma Merdeka mulai didirikan pada 1957 - di atas lahan pesanggrahan Raja Gianyar yang dirobohkan - di bawah pengawasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Seksi Gianyar, Tjokorda Gde Raka.
Berbeda dengan bangunan-bangunan Istana Kepresidenan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda, Istana Tampaksiring menonjolkan ciri keindonesiaan yang hangat. Tidak ada pilar-pilar besar yang menampilkan kesan keagungan dan kekuasaan duniawi. Rancang-bangunnya sangat fungsional, menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya sebagai wisma peristirahatan. Batu-batu alam dan batubata halus khas Bali sengaja ditonjolkan untuk menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan tiang-tiang kayu gaya Bali teras a padu dalam konsep arsitektumya, bukan sebagai elemen tambahan yang ditempelkan.
Konstruksi beton digunakan untuk menerjemahkan rancang-bangun yang menuntut bentangan-bentangan lebar. Semua bahan kayu jati serta bahan-bahan bangunan lainnya - kecuali pasir dan batubata - didatangkan dari Jawa. Adapun elemen artistiknya - ukiran kayu dan batu-dikerjakan oleh para seniman Bali.
Bung Karno sendiri memberi banyak masukan pada rancang-bangun Istana Tampaksiring yang cirinya kemudian menjadi unsur pengikat bagi bangunan-bangunan kepresidenan yang dibangun pada masanya. Paduan wama oranye muda - versi lembut dari wama natural batubata - dan abu-abu yang dipilih Bung Karno juga merupakan elemen kesamaan yang seakan tidak lekang oleh zaman. Beberapa bangunan yang mempunyai ciri arsitektur serupa adalah rumah pribadi Bung Karno di Batutulis, Bogor; Pesanggrahan Pelabuhan Ratu; dan Wisma Dyah Bayurini di kompleks Istana Bogor.
Salah satu dari arsitektur dari bangunan-bangunan Istana karya Soedarsono adalah penggunaan pipa-pipa sebagai susuran (railing) di beberapa teras. Sekilas tampak seperti susuran kapal, sebetulnya pipa-pipa itu juga berfungsi sebagai saluran air.
Pembangunan Istana Tampaksiring juga mempertimbangkan kondisi sosial lingkungan sekitar. Sebelum bangunan Istana didirikan, dibuatlah sebuah pusat kesehatan masyarakat dan pos polisi di Desa Manukaya. Unit pembangkit listrik yang dibangun khusus untuk Istana pun ikut dinikmati oleh masyarakat sekitar.
Tidak hanya terlibat dalam rancang-bangun, Bung Karno yang insinyur sipil itu juga banyak ikut serta dalam pelaksanaan konstruksi. Ia beberapa kali berkunjung ke Bali untuk melihat kemajuan pembangunan Istana Tampaksiring. Misalnya, ia cepat melihat ketika sebuah papan lis sepanjang 25 meter temyata tidak lurus terpasang. Kadang-kadang ia juga melakukan sejumlah perubahan kecil terhadap rancang-bangun secara langsung di lokasi.
Wisma Merdeka adalah bagian Istana yang merupakan hunian bagi Presiden dan keluarganya. Bangunan yang sangat luas ini mempunyai sebuah ruang tidur utama yang tidak seberapa luas, serta beberapa ruang tidur bagi anggota keluarga dan dokter pribadi Presiden. Ruang makan dan ruang tamu adalah bagian - bagian yang terluas di Wisma Merdeka ini.
Di belakang Wisma Merdeka berdiri bangunan yang lebih besar, yaitu Wisma Negara. Kedua Wisma ini terpisah oleh lembah yang dihubungkan dengan sebuah jembatan yang membentang sekitar 20 meter di atas lembah. Jembatan berarsitektur khas ini merupakan salah satu sisi fotogenik di lingkungan Istana Tampaksiring. Jembatan dengan konstruksi beton lengkung yang cantik ini diberi nama Jembatan Persahabatan karena menghubungkan Wisma Merdeka yang dihuni oleh Presiden Republik Indonesia dan Wisma Negara yang diperuntukkan para kepala negara sahabat.
Wisma Merdeka dan Wisma Negara merupakan dua bangunan di kompleks Istana Tampaksiring yang paling banyak menampilkan ciri arsitektur Bali. Beberapa bagian kedua wisma itu memakai dinding teterawangan, yaitu tembok dengan ukiran timbul dan berlubang khas Bali. Juga banyak dijumpai elemen arsitektur dari ukiran kayu yang dicat dengan nuansa wama biru dan emas. Sedangkan atapnya terbuat dari sirap dengan pasangan biasa seperti pada perumahan kota - tanpa anjungan yang megah tetapi bukan pula seperti bubungan atap rumah Bali.
Suasana khas Bali meliputi setiap tamu negara yang memasuki halaman. Berbeda dari penyambutan tamu agung di Istana Merdeka yang biasanya disertai dengan kemegahan upacara militer di dekat tangga istana, tamu negara di Istana Tampaksiring disambut dengan upacara kebesaran tradisional setelah mobilnya memasuki Candi Bentar. Sang tamu biasanya disambut dengan tari pendet - ucapan selamat datang dengan gerak-gerak lincah enam gadis penari - yang kemudian diikuti dengan taburan bunga ke arah sang tamu dan jalan yang hendak dilaluinya.
Salah seorang tamu negara pada 1957, Raja Thailand Bhumibol Adulyadey dan permaisurinya, Ratu Sirikit, yang berkunjung ke Bali terpaksa menginap di Wisma Merdeka yang belum sepenuhnya rampung ketika itu. Wisma Negara, bagian untuk tamu negara, baru dibangun pada tahap kedua dan selesai pada 1963. Sejak itu, berbagai kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara sahabat tercatat pemah bertetirah di Istana Tampaksiring. Mereka antara lain adalah Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Presiden Ho Chi Minh (Vietnam), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), Perdana Menteri Nikita Kruschev (Uni Soviet), Ratu Juliana dan Pangeran Bemhard (Belanda), Putra Mahkota Akihito dan Putri Michiko (Jepang), Presiden Ne Win (Birma), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja), clan Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar.
Untuk melayani Presiden dan tamu-tamu negara secara memuaskan, pada awalnya penyelenggaraan layanan untuk Istana Tampaksiring dilaksanakan melalui kerja sama dengan Bali Beach Hotel, hotel bertaraf internasional pertama di Bali. Di kemudian hari, pelayanan di semua Istana Kepresidenan dilaksanakan sendiri oleh pegawai Rumah Tangga Kepresidenan yang kemudian berubah nama menjadi Sekretariat Presiden. Dari semua Istana Presiden, Istana Tampaksiring kini mempunyai fasilitas dapur dan laundry yang setara dengan hotel berbintang lima.
Agak jauh terpisah dari kedua Wisma ini adalah Wisma Yudhistira untuk para menteri dan pejabat tinggi negara, serta Wisma Bima untuk para pengawal dan petugas keamanan.
Salah satu bangunan yang tidak sempat diselesaikan pada masa Presiden Sukarno adalah Balai Wantilan atau pendapa yang sepenuhnya dibangun mengikuti arsitektur tradisional Bali. Bangunan ini beratap ilalang, dan tiang-tiangnya dari batang kelapa. Sesuai dengan perkembangan zaman dan pertimbangan keamanan, tiang-tiang dari batang kelapa ini kemudian diganti dengan tiang beton yang mirip dengan bentuk batang kelapa. Dinding bagian belakangnya dihiasi dengan relief batu paras, yang menggambarkan kisah Ramayana. Balai Wantilan ini difungsikan sebagai tempat untuk pergelaran kesenian. Panggungnya dihiasi dengan latar belakang Candi Bentar dan dua patung kayu Garuda Wisnu.
Sebuah lapangan pendaratan helikopter juga dibangun di seberang Wisma Merdeka, sesuai dengan kegemaran Bung Karno menggunakan helikopter setiap kali berkunjung ke Tampaksiring. Sebagai penyayang tanaman, Bung Karno dulu selalu meminta agar beberapa staf Istana memegangi pohon-pohon bougainville yang ditanam di dekat tempat pendaratan agar tidak rusak didera angin pusaran dari baling-baling helikopter.
Sentuhan pribadi Bung Karno juga sangat kental terasa pada berbagai elemen keindahan Istana Tampaksiring. Beberapa petugas Istana masih ingat betul betapa Bung Karno sangat terlibat dalam memilih jenis pohon yang akan ditanam serta di mana tepatnya pohon itu ditempatkan. Petugas-petugas taman diminta untuk memancangkan tiang bambu di tempat sebuah pohon akan ditanam. Bung Karno mengamati letak tiang bambu itu dari berbagai penjuru. Kadang-kadang, ia memerlukan waktu beberapa hari sebelum menyetujui letak pohon baru yang akan ditanam. Sebagai seorang insinyur, ia juga selalu memperhitungkan letakan pohon berdasar proyeksi ketika nantinya tumbuh menjadi besar.
Demikian pula ketika jika akan membuat kolam, Bung Karno biasanya meminta seutas tali panjang yang dipakainya untuk membentuk garis tepi kolam yang akan dibangun. Dengan tali itu ia membentuk kolam-kolam yang hingga kini menghiasi Istana Tampaksiring. Penempatan lukisan dan patung pun tidak lepas dari campur tangan Bung Karno.
Di hamparan pekarangan Istana Tampaksiring terdapat banyak pohon-pohon rindang, terutama beringin dan leci. Tiap bulan Desember, pohon-pohon leci di Istana Tampaksiring seperti juga pohon-pohon leci lainnya di Pulau Bali-menyuguhkan buahnya yang lebat dan lezat.
Bung Karno pun sering membawa bibit pohon bila pulang dari perjalanan muhibahnya ke luar negeri atau daerah-daerah Indonesia lainnya. Bibit pohon kembang saputangan yang ditanam di depan Wisma Merdeka dibawa oleh Bung Karno ketika berkunjung ke Istana Malacanang di Filipina. Begitu cintanya Bung Karno pada tumbuh-tumbuhan sehingga pada masa itu ada ketentuan untuk membuat berita acara bila ada pohon yang tumbang atau rusak di lingkungan Istana Kepresidenan.
Beberapa pohon lain di Istana Tampaksiring juga merupakan oleh-oleh dari para pejabat negara. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Ahmad Yani, misalnya, membawa bibit tiga pohon cemara dari Irian Barat yang ditanam di dekat jembatan lengkung. Pohon itu untuk mengenang Operasi Trikora membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.
Sejak pertengahan 1990-an, di hamparan hijau yang luas itu juga tampak beberapa ekor rusa merumput. Rusa-rusa ini didatangkan khusus dari Istana Bogor untuk menambah semarak Istana Tampaksiring.
Bung Karno jugalah yang secara pribadi mengisi Istana Tampaksiring dengan koleksi lukisan dan benda seni yang sangat kaya. Koleksi benda-benda seni itu antara lain diwakili oleh karya-karya pematung Bali yang terkenal, Cokot, serta pelukis-pelukis kenamaan seperti Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Dullah, Sudarso, dan Agus Djaja. Di Istana Tampaksiring juga ditemui sebuah karya langka Rudolf Bonnet berupa lukisan pemandangan. Bonnet biasanya melukis sosok manusia.
Kecintaan Bung Karno kepada Bali, khususnya Istana Tampaksiring yang merupakan buah gagasannya, barangkali tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa ia sendiri. mempunyai garis darah Bali. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang didatangkan dari Jawa oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk mengajar di Bali. Pada saat berdinas di Banjar Bale Agung, Buleleng, itulah Soekemi jatuh hati pada Nyoman Rai Sarimben. Dari pasangan ini, lahirlah Sukarno pada 6 Juni 1901.
Bung Karno sendiri memang selalu dikenal mudah akrab dengan siapa saja khususnya dengan orang-orang di sekitarnya. Di Istana Bogor atau di Istana Cipanas misalnya, ia sengaja berbahasa Sunda dengan para staf Istana untuk menciptakan suasana keakraban. Bung Kamo yang lama tinggal di Bandung semasa mahasiswa, dan pernah menikah dengan putri Parahiangan Ibu Inggit Garnasih, tentu saja cukup fasih berbahasa Sunda. Dengan masyarakat di sekitar Istana TampaKsiring pun Bung Karno terkenal sangat akrab. Pernah pada suatu hari ia turun ke Tirta Empul dan membagi-bagi sabun mandi kepada semua orang yang sedang mandi di sana. Bung Karno juga sering duduk minum kopi sambil menikmati jajanan yang disuguhkan masyarakat
Desa Manukaya setiap kali ia berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Dalam kunjungan
informal seperti itu ia selalu membawa sesedikit mungkin pengawal.
Istana Tampaksiring pada masa Bung Karno merupakan tempat yang terbuka bagi masyarakat. Di dekat pintu masuk, misalnya, Bung Karno mengizinkan lapangannya dipakai oleh masyarakat desa untuk bermain sepak bola. Masyarakat pun bebas melintasi kompleks Istana menuju ke Tirta Empul untuk melakukan ibadah dan upacara-upacara keagamaan. Sekarang bahkan dibuatkan koridor yang merupakan jalan pintas khusus menyusuri lembah bagi masyarakat Desa Manukaya untuk meneapai Tirta Empul.
Tak urung Bung Karno selalu merasa berada di rumah sendiri setiap kali ia bertetirah di Tampaksiring. Suasana itu pula yang agaknya membuat Bung karno kemudian melakukan tradisi menulis naskah-naskah pidato kenegaraan di Istana Tampaksiring. Pada tahun-tahun terakhir kedudukannya sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno selalu membawa "pekerjaan rumah" menulis pidato kenegaraan ke Tampaksiring. Kadang-kadang ia mengucilkan dirinya dan menyendiri selama berhari-hari di ruang kerjanya yang keeil untuk mencari ilham dan merumuskan pikirannya.
Beberapa staf Istana Tampaksiring masih ingat betapa mudahnya melayani Bung Karno dalam proses kreatif semaeam itu. Mereka cukup menyediakan minuman dan jajanan di meja.
Untuk makan siang dan malam, Bung Karno sudah puas dengan hidangan sederhana sayur lodeh singkong dan belut goreng. Beberapa dari mereka juga ingat Bung Karno mengatakan bahwa kamar kerjanya yang sempit di Istana Tampaksiring mengingatkannya pada sel di penjara Sukamiskin dulu, tempat ia juga produktif menulis dokumen-dokumen politik.
Renovasi interior yang dilakukan pada tahun 2003 telah meningkatkan kenyamanan Istana Tampaksiring sesuai dengan gaya hidup modern tanpa meninggalkan konsep desain aslinya. Semua kamar mandi di Wisma Merdeka dan Wisma Negara, misalnya, diubah agar sesuai dengan standar kamar mandi hotel berbintang lima. Tetapi, mebel bergaya art deco yang dihadirkan Bung Kamo di Istana Tampaksiring - dan sempat digudangkan pada masa Presiden Soeharto - sekarang kembali menghiasi Istana Tampaksiring.
Tatanan di ruang tidur utama di Wisma Merdeka, hingga kini masih belum berubah. Di kepala tempat tidur masih tergantung lukisan Dullah - yang menggambarkan pemandangan Gunung Batur - yang dulu ditempatkan sendiri oleh Bung Karno. Mebel-mebel di kamar itu pun masih sesuai dengan aslinya, kecuali dipan pijat di kamar mandi yang dulu dipakai Bung Karno - sekarang telah dikeluarkan.
Ruang kerja kecil di sebelah ruang tidur Presiden pun dikembalikan pada bentuk aslinya ketika digunakan Bung Karno untuk menulis pidato-pidato kenegaraan. Di situ tergantung lukisan Agus Djaja yang menggambarkan seorang putri sedang dilayani dayang-dayangnya.
Istana Tampaksiring adalah rumah tetirah kepresidenan yang juga dipakai untuk pertemuan-pertemuan informal bernuansa politik, ataupun yang kemudian menghasilkan keputusan-keputusan politik. Di Istana ini, Presiden Ne Win dari Burma melakukan perundingan dengan Presiden Soeharto pada 1982. Pertemuan informal antara Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Presiden Taiwan Lee Teng-hui pernah pula terjadi di sini untuk membicarakan berbagai isu strategis hubungan Indonesia-Taiwan.
Pada masa Presiden Megawati didirikan gedung konferensi yang diberi nama Graha Bung Karno. Mengejar penyelenggaraan KTT ASEAN pada tahun 2003, pembangunannya dikerjakan siang-malam oleh 500 tenaga kerja selama kurang lebih enam bulan. Desainnya dibuat oleh Kris Danubrata, dengan relief wajah Bung Karno dari samping pada dinding utama. Di gedung yang dapat menampung 300 undangan jamuan santap inilah para pemimpin ASEAN itu menghasilkan Bali Accord.
Bila Balai Wantilan yang baru selesai dibangun di sisi Gedung Konferensi, Gedung Wantilan lama akan dibongkar, sehingga tidak lagi menghalangi tampak depan Gedung Konferensi. Di bekas lahan itu akan didirikan patung Bung Karno, sesuai dengan penamaan gedung itu sebagai Graha Bung Karno.
Penyelenggaraan KTT ASEAN pada 2003 itu pula yang mendorong percepatan renovasi interior di hampir seluruh bagian Istana Tampaksiring. Selain itu juga dilakukan penataan ulang lukisan -lukisan dan benda-benda seni di kompleks Istana.
Lukisan-Iukisan terbaik Ida Bagus Made Poleng yang sempat dibawa keluar Istana Tampaksiring, misalnya, sekarang telah kembali ke tempat asalnya.
Seluruh pekerjaan renovasi Istana semasa Presiden Megawati ini dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah dan dipimpin langsung oleh Menteri Ir. Sunarno. Hal ini bagaikan mengulangi sejarah-hampir setengah abad sebelumnya, pembangunan Istana Tampaksiring dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Istana Tampaksiring juga merupakan Istana yang paling dicintai Presiden Megawati. Ia bisa menghabiskan waktu seharian penuh melampiaskan kesukaannya berkebun di halaman Istana yang luas. Ketika mengetahui bahwa beberapa pohon kamboja tua di Bali yang sudah berusia seratus tahun lebih mulai diincar oleh pembeli dari mancanegara, ia segera berusaha mencegahnya dengan cara membelinya. Pohon-pohon kamboja yang batangnya sebesar pelukan orang dewasa sekarang sudah menghiasi halaman belakang Istana Tampaksiring.
Hampir dalam setiap kunjungannya, Presiden Megawati membawa berbagai pohon buah-buahan dari Jakarta untuk ditanam di Tampaksiring. Untuk membantunya merancang lanskap Istana Tampaksiring, Ibu Mega juga mempekerjakan seorang ahli lanskap dari Jerman. Ini mengulangi pengalaman masa lalu akan kehadiran non-birokrat untuk melaksanakan penataan Istana Presiden Republik Indonesia yang dulu pernah dilakukan Bung Karno ketika mempekerjakan tiga orang pelukis Istana - Dullah, Lee Man Pong, dan Lim Wa Sim. Demikian pula, Presiden Megawati menunjuk seorang non-birokrat, Kris Danubrata ke dalam lingkungan Istana Presiden untuk menata ulang seluruh interior istana dan melakukan pembenahan aset -aset seni yang sangat berharga.
Ciri yang menonjol di kompleks Istana Tampaksiring ini adalah ruang-ruang antara sangat Iuas yang memisahkan bangunan satu dengan lainnya. Bentangan luas lahan yang berbukit itu benar-benar dimanfaatkan secara penuh untuk menampilkan keasrian Tampaksiring dan keanggunan Istana Kepresidenan.
Adapun jalan aspal di bawah Jembatan Persahabatan dipergunakan oleh masyarakat untuk mencapai kolam Tirta Empul Setiap tahun ribuan penduduk datang untuk menyucikan diri di sana. Kolam utama Tirta Empul sendiri tidak boleh dipakai untuk mandi dan hanya bisa diziarahi oleh orang yang berpakaian adat Bali. Di tengah air kolam yang jernih itu terlihat pasir mengepul, yang terdorong oleh pancaran dari sumber air. Sedangkan sebuah pemandian yang terletak beberapa meter dari kolam utama selalu dipergunakan masyarakat setiap hari, tetapi puncaknya adalah hari raya Galungan (Hari Kemenangan Kebenaran) dan Saraswati (Hari Pendidikan). Dengan menuruni lebih dari seratus anak tangga, kompleks Tirta Empul dapat dicapai langsung dari Wisma Merdeka.
Masyarakat boleh juga melewati jalan di pekarangan utara Istana ketika ada upacara adat
di Tirta Empul, yaitu ketika iring-iringan yang menjunjung persembahan itu tidak boleh lewat di bawah Jembatan agar tak dilangkahi orang yang lewat di situ. Ini adalah juga ciri khas Istana Tampaksiring yang berbeda dari kelima istana yang lain: yaitu bahwa Istana ini bukanlah lambang kekuasaan melainkan eratnya hubungan antara rakyat dengan sang Presiden.
Pada malam bulan purnama kedamaian terasa mencapai puncaknya di lingkungan Istana Tampaksiring. Bulan bundar di langit bersih dan angin sepoi membawa alunan seruling dan gamelan dari upacara keagamaan di Pura Tirta Empul.