Haah.. tujuh tahun penjara? Lho kok cuma segitu? Sedikit sekali? Wah ga adil nih?.....Itulah pertanyaan dan komentar yang muncul bertubi-tubi, setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 7 penjara dan denda Rp300 juta kepada Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak yang didakwa melakukan korupsi dan suap.
Wajar jika kemudian mucul banyak komentar miring, bernada protes dan mempertanyakan putusan itu. Vonis itu sendiri 13 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman penjara 20 tahun.
Vonis ini memang sangat jauh dari ekspektasi atau harapan masyarakat secara umum, yang menginginkan hukuman berat bagi para koruptor, paling tidak 20 tahun atau seumur hidup. Masyarakat kemudian membandingkan dengan hukuman untuk para koruptor di negeri tirai bambu yakni hukuman mati.
Bagi Gayus, vonis 7 tahun tentu terasa maknyuus!! mantab, menyenangkan, sesuai dengan harapan.
Tapi bagi masyarakat luas ini terasa maknyos!!..menyengat, karena vonis yang jauh dari tuntutan jaksa itu seolah mengusik rasa keadilan mereka, yang konstruksi pikirannya sudah terbangun sedemikian rupa, bahwa Gayus adalah koruptor besar yang juga nakal, karena ketika sudah ditahanpun dia menyogok sejumlah polisi penjaga selnya sehingga bisa seenaknya keluar dari sel dan pelesiran ke Bali dan mancanegara.
Apa yang selama ini diberitakan setiap hari oleh media massa ternyata tak tergambar di dalam ruang persidangan. Dari besarnya gambaran mafia pajak dan mafia hukum yang dilakoni Gayus, ternyata hanya sedikit saja yang diperdebatkan di dalam ruang persidangan. Alhasil, memang terjadi kesenjangan antara diskusi di luar dan fakta yang ada di dalam persidangan.
Terlepas dari memperdebatkan putusan hakim, barangkali kita memang lupa menggawangi apa yang didakwakan kepada Gayus. Jaksa mendakwa Gayus dengan empat pasal berlapis.
Pertama, Gayus dijerat dengan pasal 3 Jo Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi. Dia diduga memperkaya diri sendiri. Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000, terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
Kedua, Gayus dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1. Dia dituding menyuap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani.
Ketiga, Gayus dijerat pasal 6 ayat 1 undang-undang tindak pidana korupsi karena telah memberikan sejumlah uang sebesar 40.000 dolar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.
Keempat, Gayus dijerat dengan pasal 22 Jo pasal 28 Undang-undang tindak pidana korupsi. Gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
Jelaslah, bahwa dari dakwaan ini memang tidak tergambar besarnya korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan, sehingga majelis hakimpun barangkali bisa dinilai wajar jika menjatuhkan hukuman hanya 7 tahun penjara.
Lantas kenapa bisa begitu, itulah yang menjadi pertanyaan besar. Duga mendugapun muncul, jangan-jangan ada unsur kesengajaan untuk membuat dakwaan yang minimalis, agar kasus Gayus tak melebar kemana-mana, dan menyeret orang-orang besar lain.
Di dalam persidangan, Gayus beberapa kali menyebut keterkaitan pejabat-pejabat besar dalam kasus mafia pajak di lingkungan kerjanya. Gayuspun bahkan protes, karena merasa hanya dirinya saja dan orang-orang kecil yang diobok-obok tetapi orang-orang besar atau big fish-nya tak pernah disentuh.
Tapi pernyataan itu tak digali lebih dalam. Mungkin majelis hakim mengganggap hal itu memang tak relevan dengan dakwaan yang hanya sebegitu.
Semula masyarakat berharap, kasus Gayus akan menjadi sebuah momen yang sangat penting, langkah awal untuk membongkar korupsi dan kolusi yang lebih besar di dunia perpajakan. Tapi harapan itupun menguap. Vonis yang dijatuhkan kepada Gayus seolah menjadi antiklimaks. Sama seperti kekalahan Timnas kita di Piala AFF 2010, yang terjadi justru di tengah-tengah euforia bangkitnya persepakbolaan nasional.
Seolah menutupi misteri kasus mafia pajak itu, masyarakat kembali dijejali pertanyaan besar, ketika usai pembacaan vonis, Gayus bersuara lantang menungkapkan kekecewaannya kepada satgas pemberantasam mafia hukum. Gayus merasa tertipu dan menuduh satgas telah melakukan rekayasa terhadap kasusnya.
Konsentrasipun terpecah. Diskusi tentang minimnya hukuman terhadap Gayus, tertimpa oleh diskusi lain yang muncul karena bantah membantah antara Gayus dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Kita semua tentu berharap, diskusi kembali terfokus pada upaya pengungkapan dan pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak. Upayanya tak boleh berhenti hanya sampai di sini. Harus ada upaya yang lebih keras untuk meneruskan penelusuran, penyelidikan dan penyidikan terhadap para mafia, sebagai bagian dari upaya pemberantasaan korupsi di negeri ini.
Pengakuan Gayus bahwa dia terlibat langsung dan tidak langsung pada pengurusan pajak 151 perusahaan masih bisa menjadi peluang untuk mengungkap kasus yang lebih besar.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) juga pernah mengungkapkan adanya transaksi tunai dalam jumlah besar dan mencurigakan di dalam rekening pribadi sejumlah pejabat dan keluarga pejabat Direktorat Jendral Pajak.
Ini artinya masih ada peluang. Jangan sampai aparat penegak hukum kita kehilangan momen untuk memberantas korupsi. Jangan pula menyirnakan harapan masyarakat.
Marthin BL
Kadep Liputan6.com
Wajar jika kemudian mucul banyak komentar miring, bernada protes dan mempertanyakan putusan itu. Vonis itu sendiri 13 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman penjara 20 tahun.
Vonis ini memang sangat jauh dari ekspektasi atau harapan masyarakat secara umum, yang menginginkan hukuman berat bagi para koruptor, paling tidak 20 tahun atau seumur hidup. Masyarakat kemudian membandingkan dengan hukuman untuk para koruptor di negeri tirai bambu yakni hukuman mati.
Bagi Gayus, vonis 7 tahun tentu terasa maknyuus!! mantab, menyenangkan, sesuai dengan harapan.
Tapi bagi masyarakat luas ini terasa maknyos!!..menyengat, karena vonis yang jauh dari tuntutan jaksa itu seolah mengusik rasa keadilan mereka, yang konstruksi pikirannya sudah terbangun sedemikian rupa, bahwa Gayus adalah koruptor besar yang juga nakal, karena ketika sudah ditahanpun dia menyogok sejumlah polisi penjaga selnya sehingga bisa seenaknya keluar dari sel dan pelesiran ke Bali dan mancanegara.
Apa yang selama ini diberitakan setiap hari oleh media massa ternyata tak tergambar di dalam ruang persidangan. Dari besarnya gambaran mafia pajak dan mafia hukum yang dilakoni Gayus, ternyata hanya sedikit saja yang diperdebatkan di dalam ruang persidangan. Alhasil, memang terjadi kesenjangan antara diskusi di luar dan fakta yang ada di dalam persidangan.
Terlepas dari memperdebatkan putusan hakim, barangkali kita memang lupa menggawangi apa yang didakwakan kepada Gayus. Jaksa mendakwa Gayus dengan empat pasal berlapis.
Pertama, Gayus dijerat dengan pasal 3 Jo Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi. Dia diduga memperkaya diri sendiri. Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000, terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo.
Kedua, Gayus dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1. Dia dituding menyuap penyidik Mabes Polri M Arafat Enanie, Sri Sumartini, dan Mardiyani.
Ketiga, Gayus dijerat pasal 6 ayat 1 undang-undang tindak pidana korupsi karena telah memberikan sejumlah uang sebesar 40.000 dolar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.
Keempat, Gayus dijerat dengan pasal 22 Jo pasal 28 Undang-undang tindak pidana korupsi. Gayus didakwa telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan.
Jelaslah, bahwa dari dakwaan ini memang tidak tergambar besarnya korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan, sehingga majelis hakimpun barangkali bisa dinilai wajar jika menjatuhkan hukuman hanya 7 tahun penjara.
Lantas kenapa bisa begitu, itulah yang menjadi pertanyaan besar. Duga mendugapun muncul, jangan-jangan ada unsur kesengajaan untuk membuat dakwaan yang minimalis, agar kasus Gayus tak melebar kemana-mana, dan menyeret orang-orang besar lain.
Di dalam persidangan, Gayus beberapa kali menyebut keterkaitan pejabat-pejabat besar dalam kasus mafia pajak di lingkungan kerjanya. Gayuspun bahkan protes, karena merasa hanya dirinya saja dan orang-orang kecil yang diobok-obok tetapi orang-orang besar atau big fish-nya tak pernah disentuh.
Tapi pernyataan itu tak digali lebih dalam. Mungkin majelis hakim mengganggap hal itu memang tak relevan dengan dakwaan yang hanya sebegitu.
Semula masyarakat berharap, kasus Gayus akan menjadi sebuah momen yang sangat penting, langkah awal untuk membongkar korupsi dan kolusi yang lebih besar di dunia perpajakan. Tapi harapan itupun menguap. Vonis yang dijatuhkan kepada Gayus seolah menjadi antiklimaks. Sama seperti kekalahan Timnas kita di Piala AFF 2010, yang terjadi justru di tengah-tengah euforia bangkitnya persepakbolaan nasional.
Seolah menutupi misteri kasus mafia pajak itu, masyarakat kembali dijejali pertanyaan besar, ketika usai pembacaan vonis, Gayus bersuara lantang menungkapkan kekecewaannya kepada satgas pemberantasam mafia hukum. Gayus merasa tertipu dan menuduh satgas telah melakukan rekayasa terhadap kasusnya.
Konsentrasipun terpecah. Diskusi tentang minimnya hukuman terhadap Gayus, tertimpa oleh diskusi lain yang muncul karena bantah membantah antara Gayus dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Kita semua tentu berharap, diskusi kembali terfokus pada upaya pengungkapan dan pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak. Upayanya tak boleh berhenti hanya sampai di sini. Harus ada upaya yang lebih keras untuk meneruskan penelusuran, penyelidikan dan penyidikan terhadap para mafia, sebagai bagian dari upaya pemberantasaan korupsi di negeri ini.
Pengakuan Gayus bahwa dia terlibat langsung dan tidak langsung pada pengurusan pajak 151 perusahaan masih bisa menjadi peluang untuk mengungkap kasus yang lebih besar.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) juga pernah mengungkapkan adanya transaksi tunai dalam jumlah besar dan mencurigakan di dalam rekening pribadi sejumlah pejabat dan keluarga pejabat Direktorat Jendral Pajak.
Ini artinya masih ada peluang. Jangan sampai aparat penegak hukum kita kehilangan momen untuk memberantas korupsi. Jangan pula menyirnakan harapan masyarakat.
Marthin BL
Kadep Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar